ISLAM DAN DEMOKRASI TERPIMPIN PART II

 


Di antara reaksi terhadap move itu diberikan oleh M Isa Anshary anggota DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap radikal. Isa Ashary menulis dalam majalah Daulah Islamiyah sebagai berikut.

Konsepsi Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28 Oktober 1956 untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau di rapat Merah Putih di Bandung, dimana beliau menyatakan keinginan untuk turut aktif dalam pemerintahan. Jadi, Dewan Nasional bukanlah semata-mata dewan penasihat tetapi adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam pemerintahan. Pemerintahan Soekarno itu berlainan dari pemerintahan Demokrasi biasa, karena pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa oposisi, dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga-tiganya baik ikutnya presiden dalam pemerintahan secara aktif, maupun tidak bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut memerintah atau tidak adanya oposisi di dalam negara, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang tumbuh di Indonesia. (M. Isa Anshary, 1957:5)

 

Dengan move politiknya itu, Soekarno tampaknya tidak sabar menunggu hasil- hasil sidang Majelis Konstituante yang pada waktu itu baru memulai pekerjaannya selama enam bulan. (M Isa Anshary 1957:5). 

Adanya ide pembentukan Dewan Nasional yang dapat ditafsirkan orang sebagai kekuatan ekstraparlementer, berarti Soekarno kurang atau bahkan tidak menghargai DPR pilhan rakyat.Ironisnya dengan konsepsinya, Soekarno hendak mengubah sistem ketatatanegaraan Indonesia sampai kedasarnya, sebagaimana diucapkannya di Istana Negara pada 22 Februari 1957.


Pic: Voi.id


Cara-cara berpikir dan bertindak yang tidak konstitusional ini seharusnya tidak dilakukan oleh seorang presiden yang sudah disumpah secara konstitusional. Tapi karena budaya politik otoriter pada waktu itu mulai menyeruak ke permukaan politik Indonesia karena faktor-faktor yang telah dikemukakan sebelumnya, maka orang mulai merasa tidak begitu terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan konstitusi. Jelas, gejala semacam ini merupakan gejala yang tidak sehat bagi pembangunan demokrasi negara yang baru merdeka, seperti halnya Indonesia.

Kekecewaan Soekarno dengan keadaan, sebenarnya juga berpangkal pada kegagalan mewujudkan kehendaknya : membentuk kabinet gotong royong atau kabinet berkaki empat, dimana PKI turut serta didalamnya.

Dewan Nasional kemudian dibentuk pada 11 Juli 1957, yang langsung diketuai Sekarno. Kemudian dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga diketuai Soekarno, Berakhirlah tugas Dewan Nasional kemudian dibentuk pada 22 juli 1959 dibawah UUD 1945.

Pembentukan Dewan Nasional memang tidak jelas dasar hukumnya. Oleh karena itu, negarawan-negarawan seperti Hatta, Natsir, dan Sjahrir telah mengecam pembentukan dewan yang tak punya dasar konstitusi ini.

Tapi Soekarno mulai muncul sebagai seorang kepala negara otoriter, sehingga dalam praktik politik dia sering diatas konstitusi. Dengan demikian, kritik-kritik yang diberikan oleh tokoh-tokoh diatas tidak digubrisnya.

DPAS yang diketahui secara formal oleh Soekarno, penanganan sehari-hari diserahkan kepada wakil ketuanya, Roeslan Abdulgani. Tokoh PNI ini memang berandil besar dalam pelaksanaan Demkrasi Terpimpin.

DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar “pidato kenegaraan presiden 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian berkembang menjadi Manipol-USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin dan Keadilan Sosial) yang kesemuanya menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Manipol ini kemudian dijadikan mata kuliah wajib di seluruh perguruan Tinggi Indonesia.



Pembentukan dewan-dewan tersebut pada Maret 1960 ditambah lagi dengan pembentukan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai ganti DPR pilihan rakyat yang dibubarkan, merupakan mekanisme pelaksanaan Demkrasi Terpimpin.

Yang menarik, anggota-anggota yang duduk dalam dewan-dewan tersebut adalah mereka yang disukai Soekarno yang bertugas mengiyakan move politiknya, setidak tidaknya secara formal. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir, sebab mereka dinialai sebagai manusia antirevolusi.

Pada bulan-bulan pertama pelaksanaan Demokrasi Terpimpin terlihat proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang terhadap demokrasi gaya baru ini. Siapa yang mendukung dibiarkan hidup, sedengkan yang menentang harus disingkirkan. Ini secara makro.



Secara mikro di kalangan umat islam proses kristalisasi juga mejadi kenyataan. Pihak yang ikut dalam sistem pemerintahan Soekarno dapat turut serta dalam jaringan kekuasaan, sekalipun sebagai peserta pinggiran. Sedangkan pihak yang melawan bukan hanya disingkirkan dari lembaga-lembaga politik formal, tetapi partai mereka juga dibubarkan dan tokohtokoh puncak mereka dipenjaran bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.

Sumber: 

Ma'arif , Ahmad Syafii (1996) Islam dan politik: Teori belah bambu : Masa demkrasi Terpimpin, 1959-1965. Jakarta: Gema Insani . Hal 45-50

Komentar