Terbentuknya negara Zaire (Jajahan Belgia)

Terbentuknya Negara Kongo Jajahan Belgia 



Sc pic: History Jokes



Latar Belakang 

Kongres Berlin


Kongres Berlin adalah pertemuan negara Eropa membahas penjajahan dan perdagangan di Afrika. Dilakukan di Berlin, Jerman pada November 1884 s/d Februari 1885. (Wirjosuparto, 1995: 108)

Kongres ini bertujuan agar 3 negara yang merebutkan Kongo (Inggris, Belgia , Portugal) tidak berselisih apalagi setelah ada perjanjian Inggris-Portugal.

Perjanjian Inggris-Portugal membuat Leopord II khawatir. Ia akhirnya minta bantuan ke Prancis dan Jerman. Prancis membantu dengan memprotes perjanjian Inggris-Portugal. Jerman mendukung agar hubungan Jerman dan Prancis membaik. Akibatnya Perjanjian Inggris-Portugal dibatalkan. Prancis mengusulkan perundingan, dan akhirnya kota Berlin disetujui sebagai tempat perundingan.

Konferensi ini menghasilkan keputusan yaitu 1.) Jika negara melakukan aneksasi di Afrika, harus memberitahu agar tidak berselisih. 2.) Eksploitasi daerah Kongo harus dilakukan dengan berdasar atas kepentingan internasional. 3.) Kongo menjadi merdeka dan King Leopord II jadi rajanya. 4.) Kongo dibuka untuk perdagangan semua bangsa. 5.) Pelayaran di sungai Niger juga bebas.

Raja Leopold II  (Raja Belgia) dan Congo (1885-1906)



Raja Leopord II merupakan satu-satunya pemimpin yang punya pandangan luas tentang pentingnya mengeksplorasi kekayaan Afrika. Ia adalah raja yang sangat memperhatikan industri di negrinya.

Tahun 1876 dibuatlah International Association for the Exploration and civilation of Central Africa (Asosiasi Internasional untuk Eksplorasi dan peradaban Afrika Tengah ). Di kota Brussel diadakan konferensi "Geografical Conference" tujuannya adalah ingin mengangkat penduduk Kongo agar lebih beradab.

Tampak jelaslah niatan dari Raja Leopord ini ingin memasarkan hasil industri Belgia ke Kongo.

Tahun 1878 sebuah komite didirikan sebagai cabang dari asosiasi yang didirikan pada tahun 1876 , yang diberi nama Commitee for the study of the Upper Congo. Satu tahun kemudian, komite ini mengirim Stanley memasuki Afrika dari Zanzibar.

Setelah menemukan Kongo, muncul masalah yaitu Portugis dan Inggris sama-sama menginginkan Kongo. Namun dapat diselesaikan melalui kongres Berlin. Kongres Berlin juga mengesahkan Raja Leopord II sebagai penguasa Kongo.

Pemerintahan Leopord II dimulai saat administrator general membuat peraturan mengenai lahan-lahan milik suku asli Kongo dan lahan-lahan tak bertuan.Tanah milik orang setempat tidak dapat dirampas oleh siapapun namun tanah-tanah yang kosong dan tidak bertuan dijadikan milik negara diikuti juga dengan tunduk terhadap peraturan yang berlaku pada daerah setempat.(Of, 2008: 16)

Kebijakan selanjutnya adalah ekspansi wilayah menggunakan kekerasan. Leopord butuh modal dan tentara. Ekspansi wilayah dilakukan sampai ke wilayah sekitar sungai nil, tetapi dihalangi PM Inggris Rosebery.

Rosebery juga ingin memperluas daerahnya. Lalu diakanlah perjanjian Kongo-Inggris (agar tidak berkonflik). Kongo juga mengadakan perjanjian dengan Prancis untuk menentukan perbatasan Kongo Prancis.

Ketika wilayah Kongo luas, Leopord mengatur wilayahnya dengan Indirect Rule. Tapi kenyataannya, administrator general mengurangi kekuasaan dari kepala daerah setempat. Dan bila terjadi suatu pertikaian antara mereka maka, perkataan orang-orang Eropa adalah absolut. (Soeratman, 2012;274)

Dalam kepemimpinan Leopold II terdapat banyak sekali perilaku tercela dan sangat kejam sekali seperti, kepala daerah Isekifasu dari Bolima dengan istri dan anaknya dibunuh dan dimutilasi lalu dagingnya dimakan oleh penjaga kanibal. Kemudian rumah-rumah penduduk digambari dengan hati, usus korban yang dibunuhnya. Maksud dari pembunuhan ini merupakan untuk menyuruh kepada orang-orang setempat untuk membawakan karet untuk orang-orang Belgia namun, dengan cara mengancam.

Tindakan-tindakan ini membuat negara-negara eropa lain mencampuri urusan Kongo ini. Banyak juga laporan-laporan yang pastinya merugikan kekuasaan Leopold II. Seperti, laporan dari Roger Casement, orang Irlandia yang menjelajahi Kongo selama 3 bulan. Dia melaporkan bahwa di Kongo terdapat buruh paksaan atau yang ia sebut sebagai Slave Harbour. Lalu, pihak Inggris menuntut agar diadakannya penyelidikan internasional terhadap Kongo dengan tujuan untuk membangkitkan rasa antipati terhadap Leopold II karena prakteknya telah menyalahi aturan atau kesepakatan yang telah disahkan saat Kongres Berlin II. Dengan keterpaksaan, Leopold II membangun komisi khusus untuk penyeldikan ini, dan akhirnya dengan penyelidikan ini menghasilkan bahwa laporan dari Casement itu dinyatakan benar.

Pada 12 oktober 1908, pemerintah Belgia mengeluarkan dekrit yang berisi tentang pengambilan kekuasaan dari Leopold II kepada pemerintahan Belgia. Lalu berakhirlah masa kekuasaan Leopold II di Kongo (1855-1908). Dan Negara Merdeka Kongo berganti menjadi Kongo Belgia. (Soeratman, 2012;280)

Pemerintahan Belgia di Kongo 1908-1960
Kebijakan yang dilakukan

Pada tahun 1908, Kongo diambil alih oleh Belgia karena King Leopord terbukti melakukan eksploitasi berlebihan. Di tahun yang sama Belgia mengadakan perjanjian internasional bersama Inggris, Prancis, Spanyol dan Portugal yang berisi bahwa mereka tidak akan menjual barang-barang seperti senjata api ,amunisi dan bahan peledak ( Soeratman, D : 2012 :281) 

Nama Congo Free State diganti jadi Congo Belgia. Belgia melakukan perbaikan dalam melaksanakan politik kolonialnya. namun masih saja menjalankan Paternalisme. Patemalisme adalah politik pemerintah yang menganggap koloni sebagai anak dan negeri induk sebagai bapak yang berkewajiban membimbing anaknya yang  masih sangat “hijau” itu ke arah kedewasaan secara evolusioner.

Pemerintahan di Congo pada kenyataannya sebagian mengikuti contoh Inggris dan sebagian lagi mengikuti Prancis. Pada taraf permulaan sistem “indirect rule” lnggris dipakai di provinsi-provinsi. sehingga kepala-kepala tradisional waktu itu bertindak sebagai penghubung antara penduduk lokal dengan pegawai Eropa. Dari pola Prancis diambil sistem pengendalian pemerintahan dari ibu kota negeri induk. 

Disamping itu juga dalam hal mendorong tumbuhnya immatricules di kalangan penduduk bumi putra. Pemerintah Belgia menunjukan perhatiannya dalam bidang perbaikan ekonomi dan sosial. Kegiatan eksploitasi seperti pada zaman kekuasaan Leopold II tetap berlaku. dimana kaum modal. pedagang dan bankir-bankir besar masih tetap memegang peranan penting dalam perekonomian kongo. Dalam bidang ekonomi pemerintah bekerja sama dengan kaum kapitalis besar dan juga memperhatikan perluasan transpor. Untuk keperluan pcrdangangan dan perekonomian. diadakan langkah-langkah besar dalam besar dalam menunjukan komunikasi antara congo dan negara-negara/daerah-daerah tetangga.


Dalam hal ini penanaman modal dalam bidang pembuatan jalan kereta api makin diintensifkan. Katanga dihubungkan dengan Rhodesia dari Eizabethville ke Sokana. Juga dibuat jalan kereta api dari Katanga ke Dnlolo. Disamping itu hubungan melalui air dari Kalanga kemuara Sungai kongo lebih disempurnakan. Hubungan pos dengan luar daerah juga diadakan dan diikuti dengan komunikasi telegraf. Sementara di kongo terdapat tiga bandar ulama, Banana, Boma dan Maladi, untuk melayani kongsi-kongsi pelayaran Belgia. Prancis. Inggris dan lain-lain maka dari itu dalam penaman modal harus lebih menjalani dalam mengatasi pembuatan jalam kereta api sehingga bisa menjadikan salasatu yang berwawasan dalam menjalankan nya hal ini dapat di sempurnakan hubungan denga daerah – daerah yang sudah di adakan nya dan Negara lain pun ikut dengan mengkomunikasikan secara formal.

Pembaharuan dalam bidang sosial mulai di usahakan. Untuk memajukan penduduk bumiputra, didirikan di sekola-sekolah. Akan tetapi seluruh bidang edukasi ini berada di tangan kaum misionaris. Ini berarti bahwa pemrintahan belgia kurang memeperhatikan bidang tersebut. ( Soeratman, D : 2012 :283)

Di Kongo sejak 1947 orang-orang bumiputra ditunjuk untuk menggantikan wakil-wakil bumiputra yang terdiri atas orang-orang Eropa di dalam pemerintahan dan dewan-dewan di propoinsi. Akan tetapi sesudah pembesaran-pembesaran Belgia mengetahui adanya ketidak puasan pada penduduk yang iri terhadap perkembangan politik di Rwanda Burundi, maka ditiga kota yang penting: leopoldville, Elizabethville dan Jodotville diizinkan memilih sepertiga anggota dewan kota. Tindakan ini akan dijadikan percobaan untuk membawa perubahan politik kolonial di kongo. Tetapi pada umumnya politik paternalisme tetap dipegang teguh.

Wilayah Kekuasaan Belgia makin luas : Kasus Rwanda-Burundi

Setelah Perang Dunia I, Semua koloni Jerman di Afrika diserahkan kepada Lembaga Bangsa-Bangsa. Daerah mandat Ruwanda dan Burundi diserahkan kepada Belgia. Daerah Rwanda dan Burundi terletak diperbatasan Congo dan Tanganyika yang mempunyai persamaan dalam luas wilayah, keadaan penddudk dan keadaan sosial ekonominya. Penduduk kedua daerah tersebut didominasi oleh suku Batutsi (Tutsi) dan Bahutu (Hutu). Dalam dunia internasional, Rwanda dikenal sebagai sebuah negara yang kecil, miskin serta paling padat penduduknya dari seluruh daerah kontinen Afrika. Keadaan tanahnya tidak subur dan sumber dayanya sangat terbatas. Mereka hidup dari hasil tanaman kopi, kapas, jagung, pisang, kacang dan industri perkanan didanau Tanganyika.

Sebelum Rwanda dan Bahutu jatuh ke tangan Imperialis Barat, daerah tersebut didatangi oleh suku Batusti. Mereka berasal dari sebelah utara yang diperkirakan dari daerah Galla di Ethiopia. Suku Batusti merupakan suku yang suka berperang, sehingga walaupun jumlahnya hanya sedikit mereka berhasil mengalahkan suku Bahutu yang jumlahnya lebih besar dan telah menempati Rwandi dan Burundi terlebih dahulu. Suku Batusti memegang kekuasaan politik Rwanda dan Burundi sedangkan Suku Bahutu merupakan Suku yang ditindas, hidupnya miskin dan menderita(Soeratman, 2012:293).

Ketika terjadi imperialisme Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, LBB sibuk melakukan pembagian atas benua Afrika. leopold II, Raja Congo Free State melakukan penetrasi kepedalaman. Sejak akhir abad ke-19, orang-orang Belgia menduduki daerah sekitar Danau Kivu didekat Rwanda, sehingga menimbulkan sengketa dengan penduduk bumiputra. Adanya konflik tersebut menyebabkan orang-orang Belgia memutuskan untuk mengundurkan diri untuk waktu yang singkat dan mereka merencanakan akan kembali merebut kembali daerah tersebut. 

Pada tahun berikutnya, ketik orang-orang Belgia datang kembali ke Rwanda, Sudah ada kekuatan Jerman yang menempati wilayah itu. Sehingga terjadi sengketa antara orang-orang Jerman dan Belgia. Akan tetapi kemudian dicapai suatu persetujuan yang menyatakan bahwa Raja Leopold II menerima baik adanya kekuasaan Jerman di Rwanda. Pada tahun 1903 Jerman menyerang Burundi, Raja Burundi yang bernama Muesi Kisabo melakukan perlawanan, akan tetapi perang Jerman yang memiliki perlengkapan modern, sehingga dengan mudah dapat mematahkankekuatan lawannya. Sehingga Burundi seperti halnya Rwanda kehilangan kemerdekaannya, kedua wilayah tersebut dimasukkan kedalam provinsi di Afrika Timur.

Untuk menghemat adanya pengeluaran, maka dibeberapa daerah yang telah terdapat pemerintahan tradisional yang telah tersusun rapi, tidak dikenakan sistem pemerintahan yang langsung ditangani oleh pemerinthn Jerman. Di Rwanda nan Burundi kekuasaan Mwami (Raja) masing-masing bersama suku Batusti tetap dibiarkan , tetapi dibawah pengawasan residen. Suku Bahutu yang merupakan penduduk mayoritas di Rwanda dan Burundi,  jumlah seluruh penduduk dikuasai oleh pemerintahan aristokratis Batusti. Suku Bahutu sebagian besar dijadikan sebagai budak. Tetapi ketika pemerintahan Jerman dihapuskan pada 1907 kedudukan mereka menjadi serfs. Mereka tidak dapat melawan Batusti karena kedudukan dsuku yang berkuasa itu didukung oleh penjajah.

Ketika terjadi Perang Dunia I, tentara Belgia di Afrika membantu sekutu memerangi perang melawan Jerman dan berhasil menduduki provinsi-provinsi Rwanda dan Burundi. Dalam perjanjian Versailleske dua provinsi tersebut dijadikan daerah LBB dan Belgi ditunjuk sebagai mandatarisnya. Akan tetapi oleh pembesar 

Belgia keputusan tesebut tidak disambut dengan baik. Mereka khawatir Rwanda dan Burundi yang merupakan daerah yang miskin dengan penduduk yang sangat padat, malah akan menambah beban Belgia. Mereka taku sumber-sumber kekayaan di Congo dan Belgia akan dikurangi untuk menutupi kebutuhan dua daerah itu. Sehingga menyebabkan perselihan yang besar antara dua suku yang menempati daerah tersebut. penduduk Rwanda adalah etnis Hutu dan sisanya Tutsi beserta kelompok etnis yang lebih kecil lainnya. Meski minoritas, Tutsi telah lama dikenal banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.

Konflik di Rwanda bermula dari serangan kelompok militer Tutsi, Rwandan Patriotic Front (RPF) ke Rwandan tahun 1990. Serangan memicu ekstrimis Hutu   untuk menggalang kekuatan untuk menolak masuknya Tutsi, dengan mempengaruhi masyarakat Rwanda melalui media massa dan puncaknya terjadi genosida 1994 di Rwanda”(Widianto, 2016)

Faktor yang menyebabkan ketegangan di antara kedua etnis. Sebelum genosida Rwanda 1994 pecah, pernah terjadi peristiwa Revolusi Rwanda pada 1959. Kala itu, sistem pemerintahan Rwanda masih berupa monarki yang dipimpin etnis Tutsi dan berstatus jajahan Belgia. Monarki Tutsi sendiri telah memerintah Rwanda sejak abad ke 18. Koloni barat seperti Jerman dan Belgia yang mengendalikan negara tersebut di abad ke-20 memperpanjang kuasanya lewat raja-raja Tutsi.

Peristiwa yang dikenal Revolusi Rwanda ini memaksa Belgia mengganti banyak kepala-kepala pemerintahan dengan etnis Hutu untuk meredam konflik dan menyelenggarakan pemilu pada 1960. Pihak Hutu keluar sebagai pemenang dengan menguasai hampir semua jajaran birokrasi dan efektif mengakhiri revolusi tersebut yang memaksa sekitar 336.000 etnis Tutsi mengungsi ke negara tetangga.

Dominique Mbonyumutwa dari Hutu secara interim menjadi presiden pertama selama masa transisi setelah penggulingan monarki Tutsi yang dipimpin oleh Raja Kigali V Ndahindurwa. Saat pemilu dilaksanakan, Grégoire Kayibanda dari Hutu menjadi presiden Rwanda sekaligus mengakhiri monarki Tutsi dan merdeka dari Belgia.

Namun masih ada para Tutsi yang tersisih dari Rwanda pasca-revolusi Rwanda menggulingkan monarki Tutsi. Beberapa dari mereka membentuk kelompok pemberontak bernama Front Patriotik Rwanda (FPR) yang dibentuk pada 1987.FPR yang datang dari Uganda tempat para pengungsi Tutsi berada ini kemudian menyerang Rwanda, mulai 1 Oktober 1990 yang kemudian dikenal sebagai perang sipil Rwanda. Menurut Aimable Twagilimana dalam bukunya berjudul Historical Dictionary of Rwanda, angkatan darat Rwanda menerima bantuan dari Belgia, Prancis, dan Zaire (Kongo) dan dalam waktu satu bulan berhasil mengembalikan pasukan FPR ke Uganda.

Meski tekanan dari internasional dan gencatan senjata hingga kesepakatan Perjanjian Arusha yang akan berbagi kekuasaan pemerintahan antara Hutu dan Tutsi dicapai, hal ini justru ditentang keras oleh kelompok konservatif Hutu dan menyulut kemarahan mereka. Demonstrasi dengan kekerasan bermuatan politik dan etnis masih terus mewarnai meski pasukan perdamaian dari PBB dikirimkan di wilayah tersebut.

Terbunuhnya dua orang Hutu yaitu mantan presiden Rwanda Juvénal Habyarimana dan rekannya Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira ketika pesawat mereka ditembak pada malam 6 April 1994 menjadi pemicu dalam babak baru pertempuran berdarah antara Hutu dan Tutsi.

Belum jelas dan menjadi perdebatan tentang siapa yang menembak pesawat ini, meski mengarah ke dua kelompok yaitu ekstrimis Hutu yang menolak negosiasi dengan FPR, dan FPR sendiri yang berlaku sebagai pemberontak Rwanda. Peristiwa ini selanjutnya menjadi dalih bagi ekstremis Hutu untuk melancarkan aksi pembersihan etnis Tutsi yang dimulai pada 7 April 1994. Mobilisasi nasional anti-Tutsi didengungkan terutamanya oleh Interahamwe, sebuah organisasi paramiliter ekstrimis Hutu.Dalam laporan BBC daftar lawan pemerintahan Hutu Rwanda diberikan kepada milisi sebagai eksekutor etnis Tutsi beserta dengan seluruh keluarga mereka. Tetangga saling membunuh dan bahkan beberapa suami membunuh istri mereka yang Tutsi karena para milisi mengancam membunuh jika mereka menolak.

Ekstremis Hutu mendirikan stasiun radio dan menerbitkan koran-koran yang menyiarkan propaganda kebencian, mendesak orang-orang untuk menyingkirkan kecoa yang dialamatkan kepada Tutsi. Nama-nama mereka yang akan dibunuh dibacakan di radio. Bahkan institusi gereja yang seharusnya menjadi benteng perlindungan terseret arus ini dengan tindakan pembunuhan para Tutsi.

Kartu identitas dimiliki oleh kelompok etnis sehingga para milisi dapat mengatur penghalangan jalan tempat orang Tutsi dibantai. Ribuan perempuan Tutsi dibawa pergi dan disimpan sebagai budak seks. diperkirakan lebih dari 800.000 orang Rwanda tewas selama 100 hari genosida yang berlangsung hingga pertengahan Juli 1994 terdapat  80 persen dari para korban tewas adalah etnis Tutsi, dan sisanya sekitar 20 persen dari korban adalah etnis Twa. Baik Hutu dan Tutsi yang moderat danberseberangan dengan kehendak ekstremis Hutu turut tewas dibantai.Pada akhirnya, FPR yang terorganisir dengan baik dan didukung oleh tentara Uganda secara bertahap merebut lebih banyak wilayah hingga sampai di ibukota Rwanda, Kigali. Jutaan orang Hutu baik warga sipil dan mereka yang terlibat aksi genosida berbalik melarikan diri hingga melintasi perbatasan Kongo yang saat itu masih disebut Zaire.

Kemenangan FPR di bawah pimpinan Paul Kagame dari Tutsi mengakhiri kekerasan genosida di Rwanda. Paul Kagame dari etnis Tutsi kemudian terpilih sebagai presiden Rwanda menggantikan Pasteur Bizimungu yang mundur pada 2000. Sejak pemilu 2003 hingga saat ini, Kagame masih menjadi presiden Rwanda karena konstitusi 2003 memungkinkan jabatan 7 tahun per periode.Perang sipil dan terutamanya peristiwa genosida Rwanda sendiri masih menyisakan penyelesaian secara hukum untuk mengadili perilaku genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sekaligus kejahatan perang yang dilakukan baik oleh ekstremis Hutu dan pemberontak Tutsi.

Nasionalisme Rakyat Kongo 

Pergerakan Nasional 

Di Kongo, gereja Katolik di Roma memegang peranan utama. Pemerintah memberikan subsidi untuk kepentingan edukasi. Jumlah sekolah dasar diperluas dan didirikan beberapa sekolah kejuruan dan lanjutan. hampir seluruh peraturan ditujukan untuk mendidik anak-anak Kongo supaya tidak buta huruf. Sekolah-sekolah kejuruan didirikan untuk memiliki keterampilan atau kecakapan praktis mengenai bidang tertentu yang dapat diterapkan dalam industri-industri atau pembaharuan desa. (Soeratman, 2012:290)

Bukan hanya peran dari misionaris saja yang melahirkan elite elite terpelajar di Kongo, keikutsertaan tantara Afrika dari Kongo dalam Perang Dunia I dan II, membuka mata orang Kongo akan dunia di luar negerinya sendiri. Kontak luar dengan bangsa-bangsa lain juga memperluas pandangannya. Mereka juga mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, selain pengalaman berperang secara modern, mereka juga mengetahui bahwa daerah koloni mempunyai kedudukan yang sangat amat penting untuk negeri iduk, baik untuk kepentingan perang atau sumber kekayaan yang membawa keuntungan bagi negeri induk.

Banyak orang Kongo yang berada di Eropa selama perang Dunia II, dan mereka menetap di sana setelah perang dengan tujuan memperoleh pengetahuan dalam pendidikan. Namun demikian kebijakan administratif diskriminatif kolonialis Belgia menyerukan kampanye publik yang setara dengan orang Eropa, oleh para elit ini. Akibatnya, administrasi kolonial dimohonkan petisi untuk reformasi dalam kepemimpinan dan kantor politik pemerintah, serta untuk akses ke sumber daya yang langka negara. (Ubaku, Anyikwa, & Emeh, 2013)

Sebagai bagian dari agitasi, asosiasi dibentuk oleh berbagai kelompok evolusi yang ditujukan mencapai minat khusus. Misalnya ‘Association du Personnel Indigene du Congo Belge et du Ruanda-Urundi’ (Asosiasi Tenaga Adat di Belgia Kongo dan di Rwanda-Burundi,APIC ) sebuah serikat yang dibentuk oleh sekelompok pegawai administrasi yang menuntut upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, pertanyaan tentang pension, tuntutan perlakuan yang baik terhadap pekerja Kongo. Asosiasi ini sebagaimana disebutkan  oleh Merriam dalam (Ubaku et al., 2013), tidak hanya tumbuh pengaruh cepat melalui provinsi Kongo, tetapi juga mulai menciptakan kesadaran akan kebutuhan untuk ideologi yang lebih luas diantara anggotanya.

Pada tahun 1926 Unios des Interets Sociaux Congolais (Persatuan Nasional untuk Kepentingan Sosial Kongo-UNISCO) dibentuk di Leopoldvill (sekarang Kinshasha) oleh kelompok evolusi lainnya. Asosiasi ini didirikan sebagai kelompok studi dengan tujuan mempelajari penindasan, diskriminasi rasial, pebaikan kondisi sosial Kongo secara umum, dan khususnya pembelaan terhadap hak-hak evolusi. Merriam dalam (Ubaku et al., 2013)

Keberadaan asosiasi-asosiasi ini muncul sebelum adanya partai-partai politik pertama. Lebih jauh lagi, asosiasi ini memberikan evolusi sebuah forum yang tidak hanya memungkinkan mereka untuk mendiskusikan masalah tetapi sama-sama melihat kemungkinan di masa depan. Namun UNISCO sendiri lebih berperan dalam memulai karir dua bangsawan Kongo, Joseph Kasawubu (presiden pertama Partai Demokrat Republik Kongo), dan Jean Bolikangon (wakil perdana menteri di Republik Demokratik Kongo).

Pada awal 1950-an ada teriakan dari Kongo untuk emansipasi politik, sebuah permintaan yang dihasut ketidakmampuan pemerintah colonial untuk memperkenalkan perubahan radikal dan kredibel. Akibatnya para elit mulai mengambil alih dengan terus berorganisasi secara sosial maupun politis.

Sejumlah organisasi pun muncul selama periode ini, tetapi mereka tidak betul-vetul beroprasi secara nasional. Sebaliknya mereka berkembang disepanjang regional dan gais etnis. Organisasi Politik yang muncul  pertama kali adalah ABAKO (Alliance des Bakongo). ABAKO didirikan pada 1950 sebagai Asosiasi Culturelle des Bakongo dan dipimpin oleh Joseph Kasavubu. Awalnya ini merupakan asosiasi budaya, lalu kemudian berubah haluan menjadi organisasi politik. Dan dari pertengahan tahun 1950-an menjadi lawan dari pemerintahan colonial Belgia. Selain itu, organisasi terus berfungsi sebagai organisasi etno-religius utama untuk Bakongo dan menjadi terkait erat dengan Gereja Kimbauguist Kongo. Gereja Kimbauguist Kongo ini merupakan bangunan rohani yang didirikan oleh Simon Kimbaugu (seorang instruktur agama) yang gerakannya dianggap mengancam pemerintah kolonial Belgia. Pemerintah kolonial Berlgia mengarahkan untuk menagkapnya dan memenjarakannya.
Profesor Belgia Antoine van bilsen, pada tahun1955, membuat publikasi yang dikenal sebagai Rencana Tiga Puluh Tahun untuk Emansipasi politik Afrika Belgia, yang menyerukan pembebasan bertahap Kongo lebih dari tiga puluh periode tahun (waktu yang diharapkan akan dibutuhkan untuk menciptakan elit terdidik yang bisa menggantikan Belgia dalam posisi berkuasa).  Rencana ini mencurigakan bagi pemerintahan Belgia. Yang pertama rencana itu pada akhirnya berarti menyerahkan Kongo, Belgia tidak siap untuk memberikan kemerdekaan bagi Kongo. ABAKO pun juga menuntut kemerdekaan segera.
Pada tahun 1957, kemerdekaan diberikan kepada Ghana, dan pada tahun1958, Presiden Charles De Gaulle menyampaikan pidato di seberang sungai di Kongo-Brazaville dan mengusulkan kemerdekaan untuk Afrika. Dengan pengaruh peristiwa-peristiwa ini semakin gencar tuntutan untuk kemerdekaan dengan cepat dideklarasikan. Selain itu, Pameran Dunia diselenggarakan di Brussels pada 1958 yang terbukti membuka mata bagi banyak pemimpin Kongo yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Belgia untuk pertama kalinya dan Konferensi Pan-Africa diadakan di Accra, Ghana pada 11 Desember 1958 dengan tiga orang yaitu Patrice Lulumba (presiden Partai), Joseph Ngalula, dan Gaston Diomi dari Movement National Congolais (Gerakan Nasional Kongo-MNC), sebuah partai politik yang didirikan 26 Agustus 1958, dengan tujuan meraih kemerdekaan Kongo.
Konfrensi Accra tidak hanya mengungkapkan kepada para delegasi ini gerakan-gerakan kemerdekaan di bagian-bagian lain benua itu, tetapi sama-sama terbuka ke para pemimpin Afrika lainnya. Kwame Nkrumah dari Ghana, Sekou Toure dari Guinea, dan Houphouet-Boigny dari Pantai Gading. Dikutip dari Merriam dalam (Ubaku et al., 2013). Mereka yang telah memimpin negara mereka keluar dari kekuasaan pemerintah kolonial Eropa. Setelah mereka kembali, Patrice lulumba berpidato menuntut kemerdekaan segera untuk seluruh Afrika, dan tidak ada lagi dominasi asing di negara Afrika setelah 1960. Ia juga menyatakan kemerdekaan yang diklaim atas nama perdamaian tidak dapat dianggap oleh Belgia sebagai hadiah, justru sebaliknya itu adalah hak rakyat Kongo yang hilang. Rakyat Kongo tidak boleh hanya menunggu kemerdekaan diberikan.
Akibat dari pidato yang didengungkan oleh Lulumba, terjadi kerusuhan pada tanggal 4-7 Januari 1959 di Leopoldville. Hal itu dipandang sebagai ancaman bagi pemerintah Belgia karena mereka bisa mencium kejatuhan mereka. Maret 1959 menyaksikan kerusuhan berskala nasional yang dijuluki 'Leopoldville'. Langkah ini semakin meneror pemerintah Belgia yang melihat ke legalisasi gerakan nasional yang telah terbentuk sejauh ini. Ini adalah revolusi besar dan partai-partai politik membentuk aliansi. (Absolute Astronomy, par.8).dalam (“Nationalist Movement Of The Belgian Congo,” 2018)
Faktor itulah yang menyebabkan munculnya Nasionalisme. Belgia melihat Kongo sebagai negara suku yang hanya disatukan melalui pemerintahan mereka. Patrice Lumumba adalah pemimpin yang menyatukan orang Kongo dan dia bekerja keras untuk mengubah penderitaan yang dirasakan warga Kongo ini oleh warga Belgia. Dia berusaha menyatukan mereka dengan menaburkan benih persatuan dan keharmonisan di antara mereka dengan orang-orang Belgia yang khas rasial. Dia tidak takut untuk berbicara di depan orang Belgia kapan pun dia punya kesempatan. Dia secara terbuka berbicara tentang pelecehan yang didapat penduduk asli Kongo dari pemerintah yang berkuasa. Dia berbicara tentang kerja keras yang mereka alami, pemukulan dan ejekan yang mereka derita di tangan orang-orang Belgia. Semua ini mereka dapatkan karena warna kulit mereka; mereka hitam. Dia menyebut mereka sebagai 'mes freres du race' yang berarti 'saudara-saudaraku dari ras. (“Nationalist Movement Of The Belgian Congo,” 2018) hingga akhirnya Kongo berhasil memperoleh kemerdekaannya pada 1960.

Menuju Kemerdekaan 


Perlawanan rakyat Congo itu semakin meningkat terhadap pemerinthan Belgi setelah terjadiny Perang Dunia II di bawah pimpinan Patrice Lumumba. Lumumba mempunyi mint yng besar terhadap cita-cita Era Pencerahan Jean Jacques Rousseau dan Voltaire. Beliu juga menyukai karya-karya penulis Perancis lain seperti Moliere dan Victor Hugo. Sehingg menimbulkan tubuhny semangat anti-imperialisme .
 Pada 1955 Lumumba mulai aktif di gerakan politik, penyebbnya adalah adanya kebangkitan dari negara-negara berkembang pasca-Perang Dunia II. Tetapi pada pada 1956 Lumumba ditangkap atas tuduhan penggelapan uang sebesar 2.500 dolar di kantor pos tempatnya bekerja. Lumumba dipenjara selama  12 bulan dan dikenai denda. Didalam tahanan justru membuat tingginya sikap anti-imperialisme dalam dada Lumumba. Thomas R. Kanza dalam  (1978) mengisahkan Lumumba mendirikan Partai Mouvement National Congolais (MNC) pada awal Oktober 1958, atau tak lama setelah bebas. Ia segera menempati posisi sebagai ketua partai.
Partai tersebut berisi tentang gagasan nasionalis tanpa adanya  perbedn etnis. MNC ingin merupakan perjuangan bersama kaum anti-imperialis se-Kongo. Adanya karisma pribadi dan orasi Lumumba yang tinggi membuat partai cepat meraih popularitas. Orang-orang juga tertarik dengan adanya gagasan Pan-Afrikanisme yang dibawa Lumumba. Pada Desember 1958, Lulumba menghadiri Konferensi Rakyat Seluruh Afrika pertama di Accra, Ghana, di mana ia bertemu dengan para nasionalis dari seluruh benua.
Keinginan untuk merdeka makin tak terbendung. Setahun setelahnya pemerintah Belgia mengumumkan program menuju kemerdekaan Kongo dengan mula-mula menyelenggarakan pemilihan lokal pada 1959. Lumumba dan kaum nasionalis lain menganggapnya sebagai taktik Belgia untuk menaikkan pemimpin boneka yang nantinya tidak pro-rakyat, tapi kepentingan Belgia. Mereka kemudian menyerukan boikot pemilu.
Pemerintah Belgia merespon dengan represi. Sehingg menibmbulkan kekacauan di Stanleyville (sekarang Kisangani) dan membunuh 30 orang. Lumumba dipenjara dengan tuduhan sebagai dalang di balik kerusuhan. MNC mengubah taktik. Mereka memutuskan ikut pemilu, dan menang besar di Stanleyville.

Pemerintah Belgia menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Brussels pada Januari 1960 untuk mendiskusikan nasib Kongo. Parti MNC diundang, tetapi rakyat menolak menghdiri konferensi tersebut tanpa kehadiran Lumumba. Sehingg Lumumba dibebaskan dari penjara kemudian diterbangkan ke Brussels. Konferensi tersebut mendapatk hasil bahawa Kongo akan merdeka pada 30 Juni 1960.

Pemilu nasional diselenggarakan satu bulan sebelumnya untuk menentukan partai pemenang yang akan menjadi pemerintahan mandiri pertama dan dimenangkan oleh partai MNC. Reputasi Lumumba meroket tajam sebagai figur nasionalis paling matang. Meski ada beberapa usaha untuk mencegah kekuasaan MNC, Lumumba berhasil membentuk pemerintahan pertama Republik Kongo pada 23 Juni 1960 (berganti menjadi Republik Demokratik Kongo sejak 1965). Saat itu juga ia dilantik sebagai perdana menteri pertama.
Pemerintahan Kongo tidak langsung stabil. Sebagaimana dialami negara berkembang yang baru merdeka, Lumumba berhadapan dengan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara di dalam negara. Mereka didukung pendanaan hingga senjata dari orang-orang yang punya kepentingan di Kongo, termasuk Belgia. Terjadi pemberontakan sejumlah tentara selang beberapa hari kemerdekaan. Motivasi utamanya adalah keberatan dengan komandan mereka, sekaligus memanfaatkan momentum di mana Kongo baru saat itu belum punya pertahanan kuat.
Moise Tshombe adalah politisi dan pebisnis Kongo yang membuat Lumumba kerepotan. Tshombe memproklamirkan Republik Katanga di Provinsi Katanga, yang merupakan Kongo bagian selatan. Katanga menarik Tshombe, selain untuk kekuasaan politik, juga karena memiliki sumber daya mineral yang melimpah.
Belgia mengirim pasukan untuk melindungi warga negara Belgia dari kekacuan di Katanga. Tapi sesampainya di sana mereka malah mendukung rezim separatis Tshombe. Sebagai perdana menteri Lumumba berupaya sebisa mungkin untuk mengatasi problem separatisme dan kekacauan internal yang marak di beberapa wilayah. Pasukan militernya dalam kondisi yang tidak solid. Pemerintahan sipilnya belum berpengalaman mengelola negara. Aliansi politik yang menyokong rezimnya juga amat rapuh.
Lumumba kemudian meminta bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan pasukan Belgia dari Kongo dan membantu mengembalikan kestabilan negara. Tidak ada jawaban yang jelas. Tentara Belgia tetap berjaga di tangsi-tangsi, dan keberadaan mereka makin menguatkan posisi rezim Tshombe.
Lumumba meminta bantuan kedua, yakni agar pasukan PBB membantu tentara Kongo dalam upaya meredam pemberontakan Katanga. Kali ini PBB menyediakan jawaban yang lebih tegas: menolak. Amerika Serikat sebagai sekutu utama PBB juga bersikap sama. Keduanya benar-benar tak bisa diharapkan.

Ia kemudian berpaling pada Uni Soviet, musuh utama AS dan Belgia sejak permulaan Perang Dingin, yang bersikap lebih hangat kepada Kongo. Lumumba juga tak lupa untuk meminta bantuan negara-negara baru Afrika lain, dengan mengadakan pertemuan pada Agustus 1960 di Leopoldville (ibukota Kongo sebelum diganti Kinshasa).
Manuver ini dianggap membahayakan oleh presiden Kongo pertama Joseph Kasa-Vubu, yang platform politiknya lebih konservatif. Ia berseberangan visi dengan Lumumba karena menginginkan negara yang lebih desentralisasi dan federal, sementara Lumumba membayangkan negara kesatuan yang tersentral.
Friksi kedua kubu makin lama makin memanas. Sebagaimana diceritakan Ludo De Witte puncaknya adalah saat Lumumba diberhentikan dari jabatannya oleh Kasa-Vubu pada 5 September karena dituduh sebagai komunis. Seminggu setelah peristiwa pemberhentian Lumumba, giliran Joseph Mobutu yang bermanuver. Kepala staf tentara Kongo itu melakukan kudeta militer dengan bantuan Belgia dan AS. Ia lalu mengonsolidasikan kekuasaan dengan Kasa-Vubu, sehingga pilihannya adalah dengan menyingkirkan Lumumba.
PBB, yang sebelumnya menolak memberi bantuan ke Lumumba, kini mengakui kredensial pemerintah Kasavubu dan Mobutu melalui Majelis Umumnya. Sikap ini membuat perpecahan yang tajam di kalangan negara-negara Afrika yang baru merdeka.
Pengkhianatan PBB kepada Lumumba terjadi kembali pada bulan November di tahun yang sama. Saat itu Lumumba merencanakan pergi ke Stanleyville di mana mayoritas pendukungnya tinggal. PBB memberikan perlindungan, tapi rombongan dengan mudah ditangkap pasukan Kasavubu. Kasavubu menahan Lumumba hingga awal Januari 1971, di mana Lumumba diserahkan ke rezim separatis Katanga. Beberapa hari kemudian ia dipaksa terbang ke Elisabethville. Di sana ia dipukuli dan disiksa secara brutal oleh petugas Katanga dan Belgia samapi meningga. Lumumba sang bapak bangsa, hanya memimpin negara yang dimerdekakannya selama 3 bulan saja. Setelah itu ia menjadi korban elite-elite yang buta oleh kekuasaan serta menjalin kongsi dengan pihak asing.







Referensi:
Sumber: Soeratman, Darsiti (2012) : Sejarah Afrika. Yogyakarta : Ombak. 
Sc pic: Allposter.com, pinterest

Firman, T. 2018. Kekayaan Sumber Daya Alam Kongo, Berkah atau Kutukan?. Jakarta: Tirto.id [Online] Tersedia : https//tirto.id/kekayaan-sumber-daya-alam-kongo-berkah-atau-kutukan-cFjX  [diakses pada tanggal 28 Februari 2020]

Kanza, Thomas R. (1978).  Rise and fall of Patrice Lumumba. London : R. Collings.


Nationalist Movement Of The Belgian Congo. (2018). Retrieved February 29, 2020, from UKESSAYS website: https://www.ukessays.com/essays/history/nationalist-movement-of-the-belgian-congo-history-essay.php?vref=1

Sangsoko, A. 2016. Tiga Motif Bangsa Eropa Kuasai Afrika. Jakarta: Republika.co.id [Online] Tersedia : https://m.republika.co.id/amp/o0hiow313 [diakses pada tanggal 28 Februari 2020]

Soeratman, D. (2012). Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak.

Ubaku, K., Anyikwa, C., & Emeh, C. (2013). Nationalism , and the Problem of Nation Building in the Democratic Republic of Congo . 9, 31–38.

 Widianto, Alfian Singgih. (2016). Peran radio television libre des mille collines

dan majalah kangura dalam perkembangan konflik antara etnis hutu-tutsi di

rwanda, afrika (1990-1994). Risalah jurnal elektronik mahasiswa prodi

pendidikan sejarah. 3 (9), 1.

Wirjosuparto, S. 1955. Sedjarah Dunia II. Djakarta: Kalimosodo.

Witte, Ludo De. (2002). Pembunuhan Lumumba. London : Verso.

Komentar