Terbentuknya negara Zaire (Jajahan Belgia)
Terbentuknya Negara Kongo Jajahan Belgia
Sc pic: History Jokes
Latar Belakang
Kongres Berlin
Kongres Berlin adalah pertemuan negara Eropa membahas penjajahan dan perdagangan di Afrika. Dilakukan di Berlin, Jerman pada November 1884 s/d Februari 1885. (Wirjosuparto, 1995: 108)
Kongres ini bertujuan agar 3 negara yang merebutkan Kongo (Inggris, Belgia , Portugal) tidak berselisih apalagi setelah ada perjanjian Inggris-Portugal.
Perjanjian Inggris-Portugal membuat Leopord II khawatir. Ia akhirnya minta bantuan ke Prancis dan Jerman. Prancis membantu dengan memprotes perjanjian Inggris-Portugal. Jerman mendukung agar hubungan Jerman dan Prancis membaik. Akibatnya Perjanjian Inggris-Portugal dibatalkan. Prancis mengusulkan perundingan, dan akhirnya kota Berlin disetujui sebagai tempat perundingan.
Konferensi ini menghasilkan keputusan yaitu 1.) Jika negara melakukan aneksasi di Afrika, harus memberitahu agar tidak berselisih. 2.) Eksploitasi daerah Kongo harus dilakukan dengan berdasar atas kepentingan internasional. 3.) Kongo menjadi merdeka dan King Leopord II jadi rajanya. 4.) Kongo dibuka untuk perdagangan semua bangsa. 5.) Pelayaran di sungai Niger juga bebas.
Konferensi ini menghasilkan keputusan yaitu 1.) Jika negara melakukan aneksasi di Afrika, harus memberitahu agar tidak berselisih. 2.) Eksploitasi daerah Kongo harus dilakukan dengan berdasar atas kepentingan internasional. 3.) Kongo menjadi merdeka dan King Leopord II jadi rajanya. 4.) Kongo dibuka untuk perdagangan semua bangsa. 5.) Pelayaran di sungai Niger juga bebas.
Raja Leopold II (Raja Belgia) dan Congo (1885-1906)
Raja Leopord II merupakan satu-satunya pemimpin yang punya pandangan luas tentang pentingnya mengeksplorasi kekayaan Afrika. Ia adalah raja yang sangat memperhatikan industri di negrinya.
Tahun 1876 dibuatlah International Association for the Exploration and civilation of Central Africa (Asosiasi Internasional untuk Eksplorasi dan peradaban Afrika Tengah ). Di kota Brussel diadakan konferensi "Geografical Conference" tujuannya adalah ingin mengangkat penduduk Kongo agar lebih beradab.
Tampak jelaslah niatan dari Raja Leopord ini ingin memasarkan hasil industri Belgia ke Kongo.
Tahun 1878 sebuah komite didirikan sebagai cabang dari asosiasi yang didirikan pada tahun 1876 , yang diberi nama Commitee for the study of the Upper Congo. Satu tahun kemudian, komite ini mengirim Stanley memasuki Afrika dari Zanzibar.
Setelah menemukan Kongo, muncul masalah yaitu Portugis dan Inggris sama-sama menginginkan Kongo. Namun dapat diselesaikan melalui kongres Berlin. Kongres Berlin juga mengesahkan Raja Leopord II sebagai penguasa Kongo.
Pemerintahan Leopord II dimulai saat administrator general membuat peraturan mengenai lahan-lahan milik suku asli Kongo dan lahan-lahan tak bertuan.Tanah milik orang setempat tidak dapat dirampas oleh siapapun namun tanah-tanah yang kosong dan tidak bertuan dijadikan milik negara diikuti juga dengan tunduk terhadap peraturan yang berlaku pada daerah setempat.(Of, 2008: 16)
Kebijakan selanjutnya adalah ekspansi wilayah menggunakan kekerasan. Leopord butuh modal dan tentara. Ekspansi wilayah dilakukan sampai ke wilayah sekitar sungai nil, tetapi dihalangi PM Inggris Rosebery.
Rosebery juga ingin memperluas daerahnya. Lalu diakanlah perjanjian Kongo-Inggris (agar tidak berkonflik). Kongo juga mengadakan perjanjian dengan Prancis untuk menentukan perbatasan Kongo Prancis.
Ketika wilayah Kongo luas, Leopord mengatur wilayahnya dengan Indirect Rule. Tapi kenyataannya, administrator general mengurangi kekuasaan dari kepala daerah setempat. Dan bila terjadi suatu pertikaian antara mereka maka, perkataan orang-orang Eropa adalah absolut. (Soeratman, 2012;274)
Dalam
kepemimpinan Leopold II terdapat banyak sekali perilaku tercela dan sangat
kejam sekali seperti, kepala daerah Isekifasu dari Bolima dengan istri dan
anaknya dibunuh dan dimutilasi lalu dagingnya dimakan oleh penjaga kanibal.
Kemudian rumah-rumah penduduk digambari dengan hati, usus korban yang
dibunuhnya. Maksud dari pembunuhan ini merupakan untuk menyuruh kepada
orang-orang setempat untuk membawakan karet untuk orang-orang Belgia namun,
dengan cara mengancam.
Tindakan-tindakan
ini membuat negara-negara eropa lain mencampuri urusan Kongo ini. Banyak juga
laporan-laporan yang pastinya merugikan kekuasaan Leopold II. Seperti, laporan
dari Roger Casement, orang Irlandia yang menjelajahi Kongo selama 3 bulan. Dia
melaporkan bahwa di Kongo terdapat buruh paksaan atau yang ia sebut sebagai Slave
Harbour. Lalu, pihak Inggris menuntut agar diadakannya penyelidikan
internasional terhadap Kongo dengan tujuan untuk membangkitkan rasa antipati
terhadap Leopold II karena prakteknya telah menyalahi aturan atau kesepakatan
yang telah disahkan saat Kongres Berlin II. Dengan keterpaksaan, Leopold II
membangun komisi khusus untuk penyeldikan ini, dan akhirnya dengan penyelidikan
ini menghasilkan bahwa laporan dari Casement itu dinyatakan benar.
Pada 12
oktober 1908, pemerintah Belgia mengeluarkan dekrit yang berisi tentang
pengambilan kekuasaan dari Leopold II kepada pemerintahan Belgia. Lalu
berakhirlah masa kekuasaan Leopold II di Kongo (1855-1908). Dan Negara Merdeka
Kongo berganti menjadi Kongo Belgia. (Soeratman, 2012;280)
Pemerintahan Belgia di Kongo 1908-1960
Kebijakan yang dilakukan
Pemerintahan Belgia di Kongo 1908-1960
Kebijakan yang dilakukan
Pada tahun 1908, Kongo diambil alih oleh Belgia karena King Leopord terbukti melakukan eksploitasi berlebihan. Di tahun yang sama Belgia mengadakan perjanjian internasional bersama Inggris, Prancis, Spanyol dan
Portugal yang berisi bahwa mereka tidak akan menjual barang-barang seperti
senjata api ,amunisi dan bahan peledak ( Soeratman, D : 2012 :281)
Nama Congo Free State diganti jadi Congo Belgia. Belgia melakukan perbaikan dalam melaksanakan politik kolonialnya. namun masih saja menjalankan Paternalisme. Patemalisme adalah politik pemerintah yang
menganggap koloni sebagai anak dan negeri induk sebagai bapak yang berkewajiban
membimbing anaknya yang masih sangat
“hijau” itu ke arah kedewasaan secara evolusioner.
Pemerintahan di Congo pada kenyataannya sebagian mengikuti contoh Inggris dan sebagian lagi mengikuti Prancis. Pada taraf permulaan sistem “indirect rule” lnggris dipakai di provinsi-provinsi. sehingga kepala-kepala tradisional waktu itu bertindak sebagai penghubung antara penduduk lokal dengan pegawai Eropa. Dari pola Prancis diambil sistem pengendalian pemerintahan dari ibu kota negeri induk.
Pemerintahan di Congo pada kenyataannya sebagian mengikuti contoh Inggris dan sebagian lagi mengikuti Prancis. Pada taraf permulaan sistem “indirect rule” lnggris dipakai di provinsi-provinsi. sehingga kepala-kepala tradisional waktu itu bertindak sebagai penghubung antara penduduk lokal dengan pegawai Eropa. Dari pola Prancis diambil sistem pengendalian pemerintahan dari ibu kota negeri induk.
Disamping itu juga dalam
hal mendorong tumbuhnya immatricules di kalangan penduduk bumi putra.
Pemerintah Belgia menunjukan perhatiannya dalam bidang perbaikan ekonomi dan
sosial. Kegiatan eksploitasi seperti pada zaman kekuasaan Leopold II tetap
berlaku. dimana kaum modal. pedagang dan bankir-bankir besar masih tetap
memegang peranan penting dalam perekonomian kongo. Dalam bidang ekonomi
pemerintah bekerja sama dengan kaum kapitalis besar dan juga memperhatikan
perluasan transpor. Untuk keperluan pcrdangangan dan perekonomian. diadakan
langkah-langkah besar dalam besar dalam menunjukan komunikasi antara congo dan
negara-negara/daerah-daerah tetangga.
Dalam hal ini penanaman modal dalam bidang pembuatan
jalan kereta api makin diintensifkan. Katanga dihubungkan dengan Rhodesia dari
Eizabethville ke Sokana. Juga dibuat jalan kereta api dari Katanga ke Dnlolo.
Disamping itu hubungan melalui air dari Kalanga kemuara Sungai kongo lebih
disempurnakan. Hubungan pos dengan luar daerah juga diadakan dan diikuti dengan
komunikasi telegraf. Sementara di kongo terdapat tiga bandar ulama, Banana,
Boma dan Maladi, untuk melayani kongsi-kongsi pelayaran Belgia. Prancis.
Inggris dan lain-lain maka dari itu dalam penaman modal harus lebih menjalani
dalam mengatasi pembuatan jalam kereta api sehingga bisa menjadikan salasatu
yang berwawasan dalam menjalankan nya hal ini dapat di sempurnakan hubungan
denga daerah – daerah yang sudah di adakan nya dan Negara lain pun ikut dengan
mengkomunikasikan secara formal.
Pembaharuan dalam bidang sosial mulai di
usahakan. Untuk memajukan penduduk bumiputra, didirikan di sekola-sekolah. Akan
tetapi seluruh bidang edukasi ini berada di tangan kaum misionaris. Ini berarti
bahwa pemrintahan belgia kurang memeperhatikan bidang tersebut. ( Soeratman, D
: 2012 :283)
Di Kongo sejak 1947 orang-orang bumiputra ditunjuk untuk menggantikan
wakil-wakil bumiputra yang terdiri atas orang-orang Eropa di dalam pemerintahan
dan dewan-dewan di propoinsi. Akan tetapi sesudah pembesaran-pembesaran Belgia
mengetahui adanya ketidak puasan pada penduduk yang iri terhadap perkembangan
politik di Rwanda Burundi, maka ditiga kota yang penting: leopoldville,
Elizabethville dan Jodotville diizinkan memilih sepertiga anggota dewan kota.
Tindakan ini akan dijadikan percobaan untuk membawa perubahan politik kolonial
di kongo. Tetapi pada umumnya politik paternalisme tetap dipegang teguh.
Wilayah Kekuasaan Belgia makin luas : Kasus Rwanda-Burundi
Setelah Perang Dunia I, Semua koloni Jerman di Afrika diserahkan kepada Lembaga Bangsa-Bangsa. Daerah mandat Ruwanda dan Burundi diserahkan kepada Belgia. Daerah Rwanda dan Burundi terletak diperbatasan Congo dan Tanganyika yang mempunyai persamaan dalam luas wilayah, keadaan penddudk dan keadaan sosial ekonominya. Penduduk kedua daerah tersebut didominasi oleh suku Batutsi (Tutsi) dan Bahutu (Hutu). Dalam dunia internasional, Rwanda dikenal sebagai sebuah negara yang kecil, miskin serta paling padat penduduknya dari seluruh daerah kontinen Afrika. Keadaan tanahnya tidak subur dan sumber dayanya sangat terbatas. Mereka hidup dari hasil tanaman kopi, kapas, jagung, pisang, kacang dan industri perkanan didanau Tanganyika.
Wilayah Kekuasaan Belgia makin luas : Kasus Rwanda-Burundi
Setelah Perang Dunia I, Semua koloni Jerman di Afrika diserahkan kepada Lembaga Bangsa-Bangsa. Daerah mandat Ruwanda dan Burundi diserahkan kepada Belgia. Daerah Rwanda dan Burundi terletak diperbatasan Congo dan Tanganyika yang mempunyai persamaan dalam luas wilayah, keadaan penddudk dan keadaan sosial ekonominya. Penduduk kedua daerah tersebut didominasi oleh suku Batutsi (Tutsi) dan Bahutu (Hutu). Dalam dunia internasional, Rwanda dikenal sebagai sebuah negara yang kecil, miskin serta paling padat penduduknya dari seluruh daerah kontinen Afrika. Keadaan tanahnya tidak subur dan sumber dayanya sangat terbatas. Mereka hidup dari hasil tanaman kopi, kapas, jagung, pisang, kacang dan industri perkanan didanau Tanganyika.
Sebelum Rwanda dan Bahutu jatuh ke tangan Imperialis
Barat, daerah tersebut didatangi oleh suku Batusti. Mereka berasal dari sebelah
utara yang diperkirakan dari daerah Galla di Ethiopia. Suku Batusti merupakan
suku yang suka berperang, sehingga walaupun jumlahnya hanya sedikit mereka
berhasil mengalahkan suku Bahutu yang jumlahnya lebih besar dan telah menempati
Rwandi dan Burundi terlebih dahulu. Suku Batusti memegang
kekuasaan politik Rwanda dan Burundi sedangkan Suku Bahutu merupakan Suku yang
ditindas, hidupnya miskin dan menderita(Soeratman, 2012:293).
Ketika terjadi imperialisme Barat pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, LBB sibuk melakukan pembagian
atas benua Afrika. leopold II, Raja Congo Free State melakukan penetrasi
kepedalaman. Sejak akhir abad ke-19, orang-orang Belgia menduduki daerah
sekitar Danau Kivu didekat Rwanda, sehingga menimbulkan sengketa dengan
penduduk bumiputra. Adanya konflik tersebut menyebabkan orang-orang Belgia
memutuskan untuk mengundurkan diri untuk waktu yang singkat dan mereka
merencanakan akan kembali merebut kembali daerah tersebut.
Pada tahun
berikutnya, ketik orang-orang Belgia datang kembali ke Rwanda, Sudah ada
kekuatan Jerman yang menempati wilayah itu. Sehingga terjadi sengketa antara
orang-orang Jerman dan Belgia. Akan tetapi kemudian dicapai suatu persetujuan
yang menyatakan bahwa Raja Leopold II menerima baik adanya kekuasaan Jerman di
Rwanda. Pada tahun 1903 Jerman menyerang Burundi, Raja Burundi yang bernama
Muesi Kisabo melakukan perlawanan, akan tetapi perang Jerman yang memiliki
perlengkapan modern, sehingga dengan mudah dapat mematahkankekuatan lawannya.
Sehingga Burundi seperti halnya Rwanda kehilangan kemerdekaannya, kedua wilayah
tersebut dimasukkan kedalam provinsi di Afrika Timur.
Untuk menghemat adanya pengeluaran, maka
dibeberapa daerah yang telah terdapat pemerintahan tradisional yang telah
tersusun rapi, tidak dikenakan sistem pemerintahan yang langsung ditangani oleh
pemerinthn Jerman. Di Rwanda nan Burundi kekuasaan Mwami (Raja) masing-masing
bersama suku Batusti tetap dibiarkan , tetapi dibawah pengawasan residen. Suku
Bahutu yang merupakan penduduk mayoritas di Rwanda dan Burundi, jumlah seluruh penduduk dikuasai oleh
pemerintahan aristokratis Batusti. Suku Bahutu sebagian besar dijadikan sebagai
budak. Tetapi ketika pemerintahan Jerman dihapuskan pada 1907 kedudukan mereka
menjadi serfs. Mereka tidak dapat melawan Batusti karena kedudukan dsuku yang
berkuasa itu didukung oleh penjajah.
Ketika terjadi Perang Dunia I, tentara Belgia di
Afrika membantu sekutu memerangi perang melawan Jerman dan berhasil menduduki
provinsi-provinsi Rwanda dan Burundi. Dalam perjanjian Versailleske dua
provinsi tersebut dijadikan daerah LBB dan Belgi ditunjuk sebagai
mandatarisnya. Akan tetapi oleh pembesar
Belgia keputusan tesebut tidak disambut
dengan baik. Mereka khawatir Rwanda dan Burundi yang merupakan daerah yang
miskin dengan penduduk yang sangat padat, malah akan menambah beban Belgia.
Mereka taku sumber-sumber kekayaan di Congo dan Belgia akan dikurangi untuk menutupi
kebutuhan dua daerah itu. Sehingga menyebabkan perselihan yang besar antara dua
suku yang menempati daerah tersebut. penduduk Rwanda adalah etnis Hutu dan
sisanya Tutsi beserta kelompok etnis yang lebih kecil lainnya. Meski minoritas,
Tutsi telah lama dikenal banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan
pemerintahan.
Konflik
di Rwanda bermula dari serangan kelompok militer Tutsi, Rwandan Patriotic Front
(RPF) ke Rwandan tahun 1990. Serangan memicu ekstrimis Hutu untuk menggalang kekuatan untuk menolak
masuknya Tutsi, dengan mempengaruhi masyarakat Rwanda melalui media massa dan
puncaknya terjadi genosida 1994 di Rwanda”(Widianto, 2016)
Faktor yang menyebabkan ketegangan
di antara kedua etnis. Sebelum genosida Rwanda 1994 pecah, pernah terjadi peristiwa
Revolusi Rwanda pada 1959. Kala itu, sistem pemerintahan Rwanda masih berupa
monarki yang dipimpin etnis Tutsi dan berstatus jajahan Belgia. Monarki Tutsi
sendiri telah memerintah Rwanda sejak abad ke 18. Koloni barat seperti Jerman
dan Belgia yang mengendalikan negara tersebut di abad ke-20 memperpanjang
kuasanya lewat raja-raja Tutsi.
Peristiwa yang dikenal Revolusi Rwanda ini memaksa
Belgia mengganti banyak kepala-kepala pemerintahan dengan etnis Hutu untuk
meredam konflik dan menyelenggarakan pemilu pada 1960. Pihak Hutu keluar
sebagai pemenang dengan menguasai hampir semua jajaran birokrasi dan efektif
mengakhiri revolusi tersebut yang memaksa sekitar 336.000 etnis Tutsi mengungsi
ke negara tetangga.
Dominique Mbonyumutwa dari Hutu secara interim menjadi
presiden pertama selama masa transisi setelah penggulingan monarki Tutsi yang
dipimpin oleh Raja Kigali V Ndahindurwa. Saat pemilu dilaksanakan, Grégoire
Kayibanda dari Hutu menjadi presiden Rwanda sekaligus mengakhiri monarki Tutsi
dan merdeka dari Belgia.
Namun masih ada para Tutsi yang tersisih dari
Rwanda pasca-revolusi Rwanda menggulingkan monarki Tutsi. Beberapa dari mereka
membentuk kelompok pemberontak bernama Front Patriotik Rwanda (FPR) yang
dibentuk pada 1987.FPR yang datang dari Uganda tempat para pengungsi Tutsi
berada ini kemudian menyerang Rwanda, mulai 1 Oktober 1990 yang kemudian
dikenal sebagai perang sipil Rwanda. Menurut Aimable Twagilimana dalam bukunya
berjudul Historical Dictionary of Rwanda, angkatan darat Rwanda
menerima bantuan dari Belgia, Prancis, dan Zaire (Kongo) dan dalam waktu satu
bulan berhasil mengembalikan pasukan FPR ke Uganda.
Meski tekanan dari internasional dan gencatan senjata hingga
kesepakatan Perjanjian Arusha yang akan berbagi kekuasaan pemerintahan antara
Hutu dan Tutsi dicapai, hal ini justru ditentang keras oleh kelompok
konservatif Hutu dan menyulut kemarahan mereka. Demonstrasi dengan kekerasan
bermuatan politik dan etnis masih terus mewarnai meski pasukan perdamaian dari
PBB dikirimkan di wilayah tersebut.
Terbunuhnya dua orang Hutu yaitu mantan presiden Rwanda
Juvénal Habyarimana dan rekannya Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira ketika
pesawat mereka ditembak pada malam 6 April 1994 menjadi pemicu dalam babak baru
pertempuran berdarah antara Hutu dan Tutsi.
Belum jelas dan menjadi perdebatan tentang siapa yang
menembak pesawat ini, meski mengarah ke dua kelompok yaitu ekstrimis Hutu yang
menolak negosiasi dengan FPR, dan FPR sendiri yang berlaku sebagai pemberontak
Rwanda. Peristiwa ini selanjutnya menjadi dalih bagi ekstremis Hutu untuk
melancarkan aksi pembersihan etnis Tutsi yang dimulai pada 7 April 1994.
Mobilisasi nasional anti-Tutsi didengungkan terutamanya oleh Interahamwe,
sebuah organisasi paramiliter ekstrimis Hutu.Dalam laporan BBC daftar
lawan pemerintahan Hutu Rwanda diberikan kepada milisi sebagai eksekutor etnis
Tutsi beserta dengan seluruh keluarga mereka. Tetangga saling membunuh dan
bahkan beberapa suami membunuh istri mereka yang Tutsi karena para milisi
mengancam membunuh jika mereka menolak.
Ekstremis Hutu mendirikan stasiun radio dan menerbitkan
koran-koran yang menyiarkan propaganda kebencian, mendesak orang-orang untuk
menyingkirkan kecoa yang dialamatkan kepada Tutsi. Nama-nama mereka yang akan
dibunuh dibacakan di radio. Bahkan institusi gereja yang seharusnya menjadi
benteng perlindungan terseret arus ini dengan tindakan pembunuhan para Tutsi.
Kemenangan FPR di bawah pimpinan Paul Kagame dari Tutsi
mengakhiri kekerasan genosida di Rwanda. Paul Kagame dari etnis Tutsi kemudian
terpilih sebagai presiden Rwanda menggantikan Pasteur Bizimungu yang mundur
pada 2000. Sejak pemilu 2003 hingga saat ini, Kagame masih menjadi presiden
Rwanda karena konstitusi 2003 memungkinkan jabatan 7 tahun per periode.Perang
sipil dan terutamanya peristiwa genosida Rwanda sendiri masih menyisakan
penyelesaian secara hukum untuk mengadili perilaku genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan sekaligus kejahatan perang yang dilakukan baik oleh ekstremis
Hutu dan pemberontak Tutsi.
Nasionalisme Rakyat Kongo
Pergerakan Nasional
Di Kongo, gereja Katolik di Roma memegang peranan utama. Pemerintah memberikan subsidi untuk kepentingan edukasi. Jumlah sekolah dasar diperluas dan didirikan beberapa sekolah kejuruan dan lanjutan. hampir seluruh peraturan ditujukan untuk mendidik anak-anak Kongo supaya tidak buta huruf. Sekolah-sekolah kejuruan didirikan untuk memiliki keterampilan atau kecakapan praktis mengenai bidang tertentu yang dapat diterapkan dalam industri-industri atau pembaharuan desa. (Soeratman, 2012:290)
Bukan hanya peran dari misionaris saja yang melahirkan
elite elite terpelajar di Kongo, keikutsertaan tantara Afrika dari Kongo dalam
Perang Dunia I dan II, membuka mata orang Kongo akan dunia di luar negerinya
sendiri. Kontak luar dengan bangsa-bangsa lain juga memperluas pandangannya.
Mereka juga mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, selain pengalaman berperang
secara modern, mereka juga mengetahui bahwa daerah koloni mempunyai kedudukan
yang sangat amat penting
untuk negeri iduk, baik untuk kepentingan perang atau sumber kekayaan yang
membawa keuntungan bagi negeri induk.
Banyak orang Kongo yang berada di Eropa
selama perang Dunia II, dan mereka menetap di sana setelah perang dengan tujuan
memperoleh pengetahuan dalam pendidikan. Namun demikian kebijakan administratif
diskriminatif kolonialis Belgia menyerukan kampanye publik yang setara dengan
orang Eropa, oleh para elit ini. Akibatnya, administrasi kolonial dimohonkan
petisi untuk reformasi dalam kepemimpinan dan kantor politik pemerintah, serta
untuk akses ke sumber daya yang langka negara. (Ubaku,
Anyikwa, & Emeh, 2013)
Sebagai bagian dari agitasi, asosiasi
dibentuk oleh berbagai kelompok evolusi yang ditujukan mencapai minat khusus.
Misalnya ‘Association du Personnel Indigene
du Congo Belge et du Ruanda-Urundi’ (Asosiasi
Tenaga Adat di Belgia Kongo dan di Rwanda-Burundi,APIC ) sebuah serikat yang dibentuk oleh sekelompok pegawai administrasi
yang menuntut upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, pertanyaan tentang
pension, tuntutan perlakuan yang baik terhadap pekerja Kongo. Asosiasi ini
sebagaimana disebutkan oleh Merriam
dalam (Ubaku et al.,
2013), tidak hanya tumbuh pengaruh cepat melalui
provinsi Kongo, tetapi juga mulai menciptakan kesadaran akan kebutuhan untuk
ideologi yang lebih luas diantara anggotanya.
Pada tahun 1926 Unios des Interets Sociaux
Congolais (Persatuan Nasional untuk Kepentingan Sosial Kongo-UNISCO) dibentuk
di Leopoldvill (sekarang Kinshasha) oleh kelompok evolusi lainnya. Asosiasi ini
didirikan sebagai kelompok studi dengan tujuan mempelajari penindasan,
diskriminasi rasial, pebaikan kondisi sosial Kongo secara umum, dan khususnya
pembelaan terhadap hak-hak evolusi. Merriam dalam (Ubaku et al.,
2013)
Keberadaan asosiasi-asosiasi ini muncul
sebelum adanya partai-partai politik pertama. Lebih jauh lagi, asosiasi ini
memberikan evolusi sebuah forum yang tidak hanya memungkinkan mereka untuk
mendiskusikan masalah tetapi sama-sama melihat kemungkinan di masa depan. Namun
UNISCO sendiri lebih berperan dalam memulai karir dua bangsawan Kongo, Joseph
Kasawubu (presiden pertama Partai Demokrat Republik Kongo), dan Jean Bolikangon
(wakil perdana menteri di Republik Demokratik Kongo).
Pada awal 1950-an ada teriakan dari Kongo untuk
emansipasi politik, sebuah permintaan yang dihasut ketidakmampuan pemerintah
colonial untuk memperkenalkan perubahan radikal dan kredibel. Akibatnya para
elit mulai mengambil alih dengan terus berorganisasi
secara sosial maupun politis.
Sejumlah organisasi pun muncul selama periode
ini, tetapi mereka tidak betul-vetul beroprasi secara nasional. Sebaliknya
mereka berkembang disepanjang regional dan gais etnis. Organisasi Politik yang
muncul pertama kali adalah ABAKO (Alliance des Bakongo). ABAKO didirikan
pada 1950 sebagai Asosiasi Culturelle des Bakongo dan dipimpin oleh Joseph
Kasavubu. Awalnya ini merupakan asosiasi budaya, lalu kemudian berubah haluan
menjadi organisasi politik. Dan dari pertengahan tahun 1950-an menjadi lawan
dari pemerintahan colonial Belgia. Selain itu, organisasi terus berfungsi
sebagai organisasi etno-religius utama untuk Bakongo dan menjadi terkait erat
dengan Gereja Kimbauguist Kongo. Gereja Kimbauguist Kongo ini merupakan
bangunan rohani yang didirikan oleh Simon Kimbaugu (seorang instruktur agama)
yang gerakannya dianggap mengancam pemerintah kolonial Belgia. Pemerintah
kolonial Berlgia mengarahkan untuk menagkapnya dan memenjarakannya.
Profesor
Belgia Antoine van bilsen, pada tahun1955, membuat publikasi yang dikenal
sebagai Rencana Tiga Puluh Tahun untuk
Emansipasi politik Afrika Belgia, yang menyerukan pembebasan bertahap
Kongo lebih dari tiga puluh periode tahun (waktu yang diharapkan akan
dibutuhkan untuk menciptakan elit terdidik yang bisa menggantikan Belgia dalam
posisi berkuasa). Rencana ini mencurigakan
bagi pemerintahan Belgia. Yang pertama rencana itu pada akhirnya berarti
menyerahkan Kongo, Belgia tidak siap untuk memberikan kemerdekaan bagi Kongo.
ABAKO pun juga menuntut kemerdekaan segera.
Pada tahun 1957, kemerdekaan diberikan kepada
Ghana, dan pada tahun1958, Presiden Charles De Gaulle menyampaikan pidato di
seberang sungai di Kongo-Brazaville dan mengusulkan kemerdekaan untuk Afrika.
Dengan pengaruh peristiwa-peristiwa ini semakin gencar tuntutan untuk
kemerdekaan dengan cepat dideklarasikan. Selain itu, Pameran Dunia diselenggarakan
di Brussels pada 1958 yang terbukti membuka mata bagi banyak pemimpin Kongo
yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Belgia untuk pertama
kalinya dan Konferensi Pan-Africa diadakan di Accra, Ghana pada 11 Desember
1958 dengan tiga orang yaitu Patrice Lulumba (presiden Partai), Joseph Ngalula,
dan Gaston Diomi dari Movement National
Congolais (Gerakan Nasional Kongo-MNC), sebuah partai politik yang
didirikan 26 Agustus 1958, dengan tujuan meraih kemerdekaan Kongo.
Konfrensi Accra tidak hanya mengungkapkan kepada para
delegasi ini gerakan-gerakan kemerdekaan di bagian-bagian lain benua itu,
tetapi sama-sama terbuka ke para pemimpin Afrika lainnya. Kwame Nkrumah
dari Ghana, Sekou Toure dari Guinea, dan Houphouet-Boigny dari Pantai Gading.
Dikutip dari Merriam dalam (Ubaku et al.,
2013). Mereka yang telah memimpin negara mereka
keluar dari kekuasaan pemerintah kolonial Eropa. Setelah mereka kembali,
Patrice lulumba berpidato menuntut kemerdekaan segera untuk seluruh Afrika, dan
tidak ada lagi dominasi asing di negara Afrika setelah 1960. Ia juga menyatakan
kemerdekaan yang diklaim atas nama perdamaian tidak dapat dianggap oleh Belgia
sebagai hadiah, justru sebaliknya itu adalah hak rakyat Kongo yang hilang.
Rakyat Kongo tidak boleh hanya menunggu kemerdekaan diberikan.
Akibat dari pidato yang didengungkan oleh
Lulumba, terjadi kerusuhan pada tanggal 4-7 Januari 1959 di Leopoldville. Hal
itu dipandang sebagai ancaman bagi pemerintah Belgia karena mereka bisa mencium
kejatuhan mereka. Maret 1959 menyaksikan kerusuhan berskala nasional yang
dijuluki 'Leopoldville'. Langkah ini semakin meneror pemerintah Belgia yang
melihat ke legalisasi gerakan nasional yang telah terbentuk sejauh ini. Ini
adalah revolusi besar dan partai-partai politik membentuk aliansi. (Absolute
Astronomy, par.8).dalam (“Nationalist
Movement Of The Belgian Congo,” 2018)
Faktor itulah yang menyebabkan munculnya Nasionalisme. Belgia melihat Kongo
sebagai negara suku yang hanya disatukan melalui pemerintahan mereka. Patrice
Lumumba adalah pemimpin yang menyatukan orang Kongo dan dia bekerja keras untuk
mengubah penderitaan yang dirasakan warga Kongo ini oleh warga Belgia. Dia
berusaha menyatukan mereka dengan menaburkan benih persatuan dan keharmonisan
di antara mereka dengan orang-orang Belgia yang khas rasial. Dia tidak takut
untuk berbicara di depan orang Belgia kapan pun dia punya kesempatan. Dia
secara terbuka berbicara tentang pelecehan yang didapat penduduk asli Kongo
dari pemerintah yang berkuasa. Dia berbicara tentang kerja keras yang mereka
alami, pemukulan dan ejekan yang mereka derita di tangan orang-orang Belgia. Semua
ini mereka dapatkan karena warna kulit mereka; mereka hitam. Dia menyebut
mereka sebagai 'mes freres du race' yang berarti 'saudara-saudaraku dari ras. (“Nationalist
Movement Of The Belgian Congo,” 2018) hingga akhirnya Kongo berhasil memperoleh
kemerdekaannya pada 1960.
Menuju Kemerdekaan
Perlawanan
rakyat Congo itu semakin meningkat terhadap pemerinthan Belgi setelah terjadiny
Perang Dunia II di bawah pimpinan Patrice Lumumba. Lumumba mempunyi
mint yng besar terhadap cita-cita Era Pencerahan Jean Jacques Rousseau dan
Voltaire. Beliu juga menyukai karya-karya penulis Perancis lain seperti Moliere
dan Victor Hugo. Sehingg menimbulkan tubuhny semangat anti-imperialisme .
Pada
1955 Lumumba mulai aktif di gerakan politik, penyebbnya adalah adanya
kebangkitan dari negara-negara berkembang pasca-Perang Dunia II. Tetapi pada
pada 1956 Lumumba ditangkap atas tuduhan penggelapan uang sebesar 2.500 dolar
di kantor pos tempatnya bekerja. Lumumba dipenjara selama 12 bulan dan dikenai denda. Didalam tahanan
justru membuat tingginya sikap anti-imperialisme dalam dada Lumumba. Thomas R.
Kanza dalam (1978) mengisahkan Lumumba mendirikan Partai Mouvement
National Congolais (MNC) pada awal Oktober 1958, atau tak lama setelah bebas.
Ia segera menempati posisi sebagai ketua partai.
Partai
tersebut berisi tentang gagasan nasionalis tanpa adanya perbedn etnis. MNC ingin merupakan perjuangan
bersama kaum anti-imperialis se-Kongo. Adanya karisma pribadi dan orasi Lumumba
yang tinggi membuat partai cepat meraih popularitas. Orang-orang juga tertarik
dengan adanya gagasan Pan-Afrikanisme yang dibawa Lumumba. Pada Desember 1958,
Lulumba menghadiri Konferensi Rakyat Seluruh Afrika pertama di Accra, Ghana, di
mana ia bertemu dengan para nasionalis dari seluruh benua.
Keinginan
untuk merdeka makin tak terbendung. Setahun setelahnya pemerintah Belgia
mengumumkan program menuju kemerdekaan Kongo dengan mula-mula menyelenggarakan
pemilihan lokal pada 1959. Lumumba dan kaum nasionalis lain menganggapnya
sebagai taktik Belgia untuk menaikkan pemimpin boneka yang nantinya tidak
pro-rakyat, tapi kepentingan Belgia. Mereka kemudian menyerukan boikot pemilu.
Pemerintah
Belgia merespon dengan represi. Sehingg menibmbulkan kekacauan di Stanleyville
(sekarang Kisangani) dan membunuh 30 orang. Lumumba dipenjara dengan tuduhan
sebagai dalang di balik kerusuhan. MNC mengubah taktik. Mereka memutuskan ikut
pemilu, dan menang besar di Stanleyville.
Pemerintah
Belgia menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Brussels pada Januari 1960
untuk mendiskusikan nasib Kongo. Parti MNC diundang, tetapi rakyat menolak
menghdiri konferensi tersebut tanpa kehadiran Lumumba. Sehingg Lumumba
dibebaskan dari penjara kemudian diterbangkan ke Brussels. Konferensi tersebut
mendapatk hasil bahawa Kongo akan merdeka pada 30 Juni 1960.
Pemilu
nasional diselenggarakan satu bulan sebelumnya untuk menentukan partai pemenang
yang akan menjadi pemerintahan mandiri pertama dan dimenangkan oleh partai MNC.
Reputasi Lumumba meroket tajam sebagai figur nasionalis paling matang. Meski
ada beberapa usaha untuk mencegah kekuasaan MNC, Lumumba berhasil membentuk
pemerintahan pertama Republik Kongo pada 23 Juni 1960 (berganti menjadi
Republik Demokratik Kongo sejak 1965). Saat itu juga ia dilantik sebagai
perdana menteri pertama.
Pemerintahan
Kongo tidak langsung stabil. Sebagaimana dialami negara berkembang yang baru
merdeka, Lumumba berhadapan dengan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara di
dalam negara. Mereka didukung pendanaan hingga senjata dari orang-orang yang
punya kepentingan di Kongo, termasuk Belgia. Terjadi pemberontakan sejumlah
tentara selang beberapa hari kemerdekaan. Motivasi utamanya adalah keberatan
dengan komandan mereka, sekaligus memanfaatkan momentum di mana Kongo baru saat
itu belum punya pertahanan kuat.
Moise
Tshombe adalah politisi dan pebisnis Kongo yang membuat Lumumba kerepotan.
Tshombe memproklamirkan Republik Katanga di Provinsi Katanga, yang merupakan
Kongo bagian selatan. Katanga menarik Tshombe, selain untuk kekuasaan politik,
juga karena memiliki sumber daya mineral yang melimpah.
Belgia
mengirim pasukan untuk melindungi warga negara Belgia dari kekacuan di Katanga.
Tapi sesampainya di sana mereka malah mendukung rezim separatis Tshombe.
Sebagai perdana menteri Lumumba berupaya sebisa mungkin untuk mengatasi problem
separatisme dan kekacauan internal yang marak di beberapa wilayah. Pasukan
militernya dalam kondisi yang tidak solid. Pemerintahan sipilnya belum
berpengalaman mengelola negara. Aliansi politik yang menyokong rezimnya juga
amat rapuh.
Lumumba
kemudian meminta bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan
pasukan Belgia dari Kongo dan membantu mengembalikan kestabilan negara. Tidak
ada jawaban yang jelas. Tentara Belgia tetap berjaga di tangsi-tangsi, dan
keberadaan mereka makin menguatkan posisi rezim Tshombe.
Lumumba
meminta bantuan kedua, yakni agar pasukan PBB membantu tentara Kongo dalam
upaya meredam pemberontakan Katanga. Kali ini PBB menyediakan jawaban yang
lebih tegas: menolak. Amerika Serikat sebagai sekutu utama PBB juga bersikap
sama. Keduanya benar-benar tak bisa diharapkan.
Ia
kemudian berpaling pada Uni Soviet, musuh utama AS dan Belgia sejak permulaan
Perang Dingin, yang bersikap lebih hangat kepada Kongo. Lumumba juga tak lupa
untuk meminta bantuan negara-negara baru Afrika lain, dengan mengadakan
pertemuan pada Agustus 1960 di Leopoldville (ibukota Kongo sebelum diganti
Kinshasa).
Manuver
ini dianggap membahayakan oleh presiden Kongo pertama Joseph Kasa-Vubu, yang
platform politiknya lebih konservatif. Ia berseberangan visi dengan Lumumba
karena menginginkan negara yang lebih desentralisasi dan federal, sementara
Lumumba membayangkan negara kesatuan yang tersentral.
Friksi
kedua kubu makin lama makin memanas. Sebagaimana diceritakan Ludo De Witte
puncaknya adalah saat Lumumba diberhentikan dari jabatannya oleh Kasa-Vubu pada
5 September karena dituduh sebagai komunis. Seminggu setelah peristiwa
pemberhentian Lumumba, giliran Joseph Mobutu yang bermanuver. Kepala staf
tentara Kongo itu melakukan kudeta militer dengan bantuan Belgia dan AS. Ia
lalu mengonsolidasikan kekuasaan dengan Kasa-Vubu, sehingga pilihannya adalah
dengan menyingkirkan Lumumba.
PBB,
yang sebelumnya menolak memberi bantuan ke Lumumba, kini mengakui kredensial
pemerintah Kasavubu dan Mobutu melalui Majelis Umumnya. Sikap ini membuat
perpecahan yang tajam di kalangan negara-negara Afrika yang baru merdeka.
Pengkhianatan
PBB kepada Lumumba terjadi kembali pada bulan November di tahun yang sama. Saat
itu Lumumba merencanakan pergi ke Stanleyville di mana mayoritas pendukungnya
tinggal. PBB memberikan perlindungan, tapi rombongan dengan mudah ditangkap
pasukan Kasavubu. Kasavubu menahan Lumumba hingga awal Januari 1971, di mana
Lumumba diserahkan ke rezim separatis Katanga. Beberapa hari kemudian ia
dipaksa terbang ke Elisabethville. Di sana ia dipukuli dan disiksa secara
brutal oleh petugas Katanga dan Belgia samapi meningga. Lumumba sang bapak
bangsa, hanya memimpin negara yang dimerdekakannya selama 3 bulan saja. Setelah
itu ia menjadi korban elite-elite yang buta oleh kekuasaan serta menjalin
kongsi dengan pihak asing.
Referensi:
Sumber: Soeratman, Darsiti (2012) : Sejarah Afrika. Yogyakarta : Ombak.
Sc pic: Allposter.com, pinterest
Sumber: Soeratman, Darsiti (2012) : Sejarah Afrika. Yogyakarta : Ombak.
Sc pic: Allposter.com, pinterest
Firman, T. 2018. Kekayaan
Sumber Daya Alam Kongo, Berkah atau Kutukan?. Jakarta: Tirto.id [Online]
Tersedia :
https//tirto.id/kekayaan-sumber-daya-alam-kongo-berkah-atau-kutukan-cFjX [diakses pada tanggal 28 Februari 2020]
Kanza, Thomas R.
(1978). Rise and fall of Patrice Lumumba. London : R. Collings.
Nationalist Movement Of The
Belgian Congo. (2018). Retrieved February 29, 2020, from UKESSAYS website: https://www.ukessays.com/essays/history/nationalist-movement-of-the-belgian-congo-history-essay.php?vref=1
Sangsoko, A. 2016. Tiga
Motif Bangsa Eropa Kuasai Afrika. Jakarta: Republika.co.id [Online]
Tersedia : https://m.republika.co.id/amp/o0hiow313 [diakses pada tanggal 28
Februari 2020]
Soeratman, D. (2012). Sejarah
Afrika. Yogyakarta: Ombak.
Ubaku, K., Anyikwa, C.,
& Emeh, C. (2013). Nationalism , and the Problem of Nation Building in
the Democratic Republic of Congo . 9, 31–38.
Widianto, Alfian Singgih. (2016). Peran radio television libre des mille
collines
dan majalah kangura dalam
perkembangan konflik antara etnis hutu-tutsi di
rwanda, afrika (1990-1994). Risalah jurnal
elektronik mahasiswa prodi
pendidikan sejarah.
3 (9),
1.
Wirjosuparto, S. 1955. Sedjarah Dunia II. Djakarta:
Kalimosodo.
Witte,
Ludo De. (2002). Pembunuhan Lumumba.
London : Verso.
Komentar
Posting Komentar