Al Jajair dan Tunisia Merdeka

  • Aljajair (Kekuasaan Prancis di Aljajair +kemerdekaan Aljajair)
  • Tunisia (Perjanjian Bardo 1881+kemerdekaan Tunisia)

Al Jazair Merdeka
Kekuasaan Prancis di al jazair

Pada tahun 1796, dalam perjalanan penyerangan ke Italia, Jendral Napoleon dengan puluhan ribu prajuritnya kekurangan persenjataan dan kelaparan karena bahan perbekalan makan mereka telah habis dipakai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Jendral Napoleon membeli gandum dengan jumlah yang sangat banyak sekali kepada pedagang besar di Aljazair dengan sistem pembayaran kredit. Namun setelah Napoleon sudah tidak memerintah lagi, pemerintah Prancis masih belum melunasi hutang tersebut. Untuk menghindari soal hutang piutang tersebut Prancis melakukan protes dengan alasan tagihannya terlalu besar dan Prancis menolak untuk menyelesaikan persoalan hutang tersebut.


Pada tahun1827, Hussein Dey yaitu seorang Gubernur Ottoman meminta konsul Prancis untuk menjelaskan permasalahan hutang piutang gandum.  Dipertemuan itu terjadi adu argumen antara Dey dengan konsul Prancis tersebut. 

Semakin lama keadaan semakin memanas dan memancing amarah dari Dey, sehingga melayanglah kipas yang dipegang  Dey memukul konsul Prancis tersebut. Raja Charles X yang pada saat itu memerintah Prancis tidak menerima perlakuan tersebut karena menurutnya itu adalah sebuah penghinaan dan dia menuntut Dey untuk memberikan sebuat permohonan permintaan maaf. Peristiwa ini juga dimanfaatkan untuk Prancis menguasai Aljazair.

Di negeri Prancis sendiri raja Charles X memiliki persoalannya sendiri, dia sudah tidak dipercaya oleh rakyatnya untuk memerintah. Untuk mengembalikan ketenarannya, Charles X memanfaatkan persoalan pemukulan konsul Prancis dengan kipas angin oleh Dey untuk meminta maaf dan memerintahkan pasukan Prancis untuk melakukan pemblokadean. Tetapi hal itu menjadi bemerang bagi Prancis, karena yang mendapatkan efek buruk yaitu pedagang Prancis. Sehingga, pedagang Prancis melakukan protes terhadap Charles. Untuk meredam amarah pedagang Charles mengutus negosiator Prancis ke Aljazair untuk memperbaiki situasi. Tetapi kedatangan negosiator tersebut dibalas oleh penembakan panah sebagai peringatan. Hal tersebut  menyulut amarah Prancis dan menganggap itu sebagai provokasi.


Pada tahun 1830, Prancis mulai menjalankan invasi ke Aljazair dengan menggunakan strategi penyerangan yang dirancang oleh Napoleon. Ribuan pasukan di kerahkan oleh Prancis, dengan cepat pasukan Ottoman pun dikerahkan untuk melawan pasukan Prancis. Tetapi, pasukan Ottoman tidak bisa mengimbangi kekuatan dari pasukan Prancis yang sudah sangat maju dan terlatih. Sehingga Aljazair berhasil diduduki oleh Prancis dan Hussein Dey dipaksa menyerah. Dengan adanya penyerangan ini dengan resmi pemerintahan Utsmani berakhir.

Sebelum datangnya Prancis mengekspansi, tanah Aljazair yang barada ditangan kekuasaan Utsmani, sudah terjadi pemberontakan-pemberontakan akibat adanya kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah yang dianggap rakyat itu merupakan deskriminasi suku.. Hal tersebut yang menjadi faktor internal kemunduran Turki Utsmani yang kemudian dimanfaatkan oleh Prancis untuk memecah belah rakyat dengan membedakan kedua suku. Suku yang dimanfaatkan oleh Prancis adalah Arab dan Berber. Langkah awal yang dilakukan Prancis untuk menduduki Aljazair yaitu dengan mencari cela agar bisa menguasai daerah jajahannya. Dengan banyaknya suku yang terdapat di Aljazair ini memuluskan pengaruh Prancis dalam memecah masyarakat Aljazair sehingga dengan mudah dipisahkan (Ul’hak, 2016:34).

Setelah kemenangan Prancis atas Turki Utsmani, mulailah kependudukan Prancis di Aljazair. Sebulan setelah penaklukan tersebut terjadi pergolakan politik. Di Prancis terjadi Protes dan menuntut Charles untuk turun dari jabatannya, sehingga lahirlah pemerintahan baru. Menurut pemerintahan baru di Prancis, kependudukan Prancis di Aljazair merupakan hal yang memalukan karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan di Aljazair.

Terputusnya jalur komando dari pemerintahan lama, menjadikan situasi di Ajazair berkembang menjadi liar. Penduduk Prancis yang bermukim di Aljazair bersikap brutal dan melakukan penjarahan-penjarahan. Kekejaman pun tidak berhenti disitu saja, Prancis mendorong warganya untuk bermigrasi ke Aljazair dengan iming-iming tanah Aljazair subur dan Strategis.


Tanah-tanah yang subur itu milik masyarakat Aljazair yang dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga yang murah kepada koloni Prancis. Setelah tanah didapatkan oleh orang Prancis, pribumi yang menjual tanah tersebut keadaannya sangat menghawatirkan diusir ke tempat didaerah yang gersang dan tandus.(Ul’hak, 2016 : 35)


Akibat dari kehilangan tanah yang subur untuk lahan pertanian yang direbut paksa oleh koloni Prancis itu membuat penderitaan masyarakat Aljazair semakin bertambah. Terjadi wabah kelaparan yang merajalela dimana-mana sehingga, banyak pribumi yang meningga akibat kelaparan.

Tak sampai disitu hal yang membuat bumiputra sangat menderita dan tertindas. Prancis banyak melakukan pembunuhan, memfitnah, dan merusak budaya yang telah diwariskan oleh penguasa sebelumnya. Perilaku tersebut menyulut kemarahan yang amat besar dari masyarakat Aljazair, yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan sebagai bentuk protes dari perilaku tersebut. Meningkatnya kekerasan dan kerusuhan juga menyebabkan Prancis harus menugaskan lebih banyak lagi pasukannya untuk memadamkan tindakan protes ini

Dari sekian banyak pemberontakan yang terjadi di Aljazair, perlawanan yang paling berkesan adalah perlawanan Aljazair dibawah pimpinan Abdul Qadir. Abdul Qadir adalah putra dari Muhyi al-Din al-Hasani, seorang kepala keluarga bangsawan Bani Hasyim di Aljazair, sekaligus pemimpin Tarekat Qadiriyah, yang sangat dihormati oleh penduduk setempat. Pada usianya yang ke 24 tahun, Abdul Qadir diangkat menjadi Amirul Mukminin untuk memimpin penduduk setempat dan melakukan perlawanan terhadap penjajah asing.


Pengangkatan Abdul Qadir ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua orang, mengingat berbagai kelompok lokal di Aljazair memiliki kepentingannya masing-masing. Karena pada saat itu juga dia masih berusia sangat muda untuk memimpin, sehingga banyak orang meremehkannya dan menganggap ia hanya ingin mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.


Tetapi dengan beliau melakukan pendekatan-pendekatan yang terus-menerus terhadap berbagai komunitas Muslim, melakukan aktivitas diplomasi, dan kepemilikan kesatuan militer yang energik, setelah setahun pengangkatannya beliau berhasil mendirikan kekuasaan baru di Aljazair Barat.

Pada tahun 1834, Prancis yang  diwakili oleh Jendral Desmichels, akhirnya mengakui kedaulatan kekuasaan yang didirikan oleh Abdul Qadir. 

Kedua belah pihak sepakat untuk membuat perjanjian yang isinya tentang gencatan senjata, pertukaran perlawanan perang, dan mendirikan konsulat di wilayah masing-masing. Selain itu Prancis juga berjanji untuk melindungi agama Islam berserta tradisinya, sebaliknya Abdul Qadir pun memberikan izin dan jaminan keamanan bagi setiap warga Eropa Kristen dapat memasuki wilayahnya. Kesepakatan lainnya juga mengatur tentang perniagaan diantara kedua belah pihak.


Namun perjanjian itu tidak sepenuhnya dijalankan oleh Prancis. hingga pada tahun 1835, beberapa suku yang tunduk kepada Abdul Qadir, membelot kepada Prancis, hal ini menyebabkan hubungan Abdul Qadir dengan Prancis retak. Dari semenjak itu terjadilah peperangan di kedua belah pihak yang memiliki kemenangan pasang surut.


Serangan penduduk Aljazair semakin membuat pasukan Prancis kewalahan sehingga pada tahun 1837 Prancis mengerimkan Jendral baru yang bernama Thomas Robert Bugeaud bersama pasukannya untuk melawan pasuka Abdul Qadir. Di Bawah pimpinan Bugeaud pasukan Prancis semakin kuat. 

Serangan yang bertubi-tubi dilancarkan oleh pasukan Prancis, sehingga mengantarkan ke gerbang kemenangan. Pasukan Abdul Qadir menerima kekalahan, pasukannya banyak yang di bunuh. Namun, Abdul Qadir dengan keluarga dan pengikut lainnya diasingkan dan menjadi tawanan Prancis. dari kekalahan itulah dengan resmi Prancis secara utuh menguasai Aljazair. (Ul’hak, 2016 : 36)

Kemerdekaan Al Jazair

Negara di Afrika bagian utara terdapat sebuah wilayah yang merupakan jajahan Eropa yakni negara Aljajajir. Wilayah Aljajair merupakan wilayah yang cukup luas di Afrika bagian utara, meski memiliki sebuah wilayah yang cukup luas dan sumber daya alamnya yang cukup melimpah kepadatan penduduknya masih cukup rendah

Sebelum wilayah Aljazair dikuasai oleh bangsa Prancis, Aljazair sebelumnya merupakan sebuah daerah bawahan Ottoman tetapi seiring berjalannya waktu Aljazair pada abad ke 19 dikuasai oleh Prancis secara utuh. 

Masyarakat Aljazair tentu sangatlah tidak nyaman dengan penguasaan wilayah oleh bangsa Prancis. Upaya untuk mengusir bangsa Prancis tentunya sangatlah tidak mudah banyak perjuangan perjuangan yang harus dilakukan oleh penduduk Aljazair selama bertahun tahun sebelum akhirnya mereka bebas dari jajahan bangsa Prancis. 

Pada saat Prancis sedang menguasai Aljazair, sementara itu di Eropa sedang terjadi kerusuhan, karena Jerman menginvasi Polandia pada tahun 1939 yang mengakibatkan perang dunia II pecah. Begitu pun dengan Prancis yang berhasil ditaklukan oleh Jerman pada 1940. 

Di saat sedang berlangsungnya perang, Aljazair yang merupakan jajahah Prancis kondisinya semakin memburuk. Banyak lahan masyarakat yang gagal panen yang mengakibatnya kelangkaan bahan pokok.

Pada tahun 1945 ketika Prancis dan sekutu melakukan perayaan kemenangannya atas jerman. Penduduk Aljazair memanfaatkan situasi tersebut. Massa dari golongan penduduk asli Aljazair melakukan sebuah parade sambil mengusung bendera dan plakat bertema nasionalisme Aljazair. Tetapi, parade tersebut tidak berjalan dengan mulus, dikarenakan bahwa masyarakat Aljazair ditembak oleh aparat keamanan sehingga akhir dari kejadiaan ini cukup tragis. Sehingga masyarakat Aljazair yang lainnya merasa bahwa ini tidak adil. Akhirnya mereka melakukan sebuah penyerangan. 

Dikarenakan banyak warga Eropa yang meninggal atas aksi tersebut. Pemerintah kolonial Prancis menanggapi aksi tersebut dan melakukan sebuah pembantaian dengan mengerahkan pasukan dan kendaraan termputnya untuk menyerang lokasi-lokasi yang penduduknya mayoritas muslim. Akibat tragedi ini hubungan antara kolonial Prancis dan penduduk asli Aljazair semakin memanas. Pada akhirnya tahun 1954 penduduk Aljazair mendirikan sebuah kelompok yakni Front de Liberation Nationale ( FLN ) yang bertujuan untuk mengupayakan  sebuah kemerdekaan Aljazair lewat pemberontakan bersenjata

Saat berjalannya perang pada tanggal 1 November 1954, para anggota FLN melancarkan sebuah serangan terhadap pemerintah kolonial Prancis dengan menyerang bangunan banguanna milik Prancis di sekitaran kota Aljazair. Serta para penduduk Aljazair meminta kepada asli Aljazair yang berada di daerah mesir untuk bergabung dengan FLN agar dapat mewujudkan sebuah negara Aljazair yang merdeka. Pihak kolonial Prancis lebih memilih untuk berperang dari pada melakukan musyawarah dengan FLN untuk mewujudkan kemerdekaan Aljazair. Disisi lain Prancis baru saja kehilangan wilayah koloninya di Indocina

FLN yang pada awalnya beridiri berharap jika insiden pernyerangan masal ini bisa memancing penduduk asli Aljazair untuk beramai-ramai memberontak. Namun pada kenyataannya setelah terjadi pemberontakan Prancis semakin giat dalam melakukan penyerangan dan pada 15 Januari 1955 pimpinan FLN wilayah Constantinois yang bernama Didouche Mourad tewas dibunuh oleh pasukan Prancis. 

FLN memiliki kendala dalam melakukan perjuangan kemerdekaan yakni sebuah kendala yang berasal dari sesama kelompok kemerdekaan di Aljazair yakni kelompok MNA Mouvement National Algerien atau Gerakan Nasional Aljazair

Alasan didirikannya MNA adalah karena Hadj kecewa setelah tokoh-tokoh yang tergabung dengan dalam FLN memulai pemberontakan tanpa adanya konsultasi atau musyawarah dengan dirinya terlebih dahulu. Atas perbedaan pandangan inilah yang mneyebabkan berdampaknya pada timbulnya aksi saling jebak dan saling bunuh antara MNA dan FLN

Pada 20 Agustus 1955 terjadi peristiwa yang menjadi titik balik dalam perang kemerdekaan aljazair terjadi parade peringatan 2 tahun tergulingnya Sultan Muhammad V di Maroko yang dilakukan oleh ribuan petani di Aljazair. Tetapi, parade tersebut berubah menjadi rusuh setelah massa beramai-ramai menyerang warga keturunan Prancis dan bangunan-bangunan lainnya serta banyak sekali korban jiwa. Tanggapan bangsa Prancismasih sama seperti kejadian pada peristiwa sebelumnya yang menanggapi atas kerusuhan tersebut dan melakukan operasi militer secara besar-besaran. 

Pada 27 Desember 1956 terjadi sebuah peristiwa yang menyebabkan komunitas muslim tewas dibunuh di ibu kita aljazair. Atas kejadian tersebut menyebabkan buruknya hubungan antara warga muslim dan keturunan eropa di aljazair. Pemerintah aljazair mengirimkan sebanyak 8000 prajurit ke ibu kota yakni pada 7 januari 1957 untuk menormalkan situasi keamanan. Tetapi, kondisi ini semakin memburuk terjadi ledakan bom oleh FLN yang sering terjadi. 

Pemukiman Muslim diisolasi dari populasi warga keturunan eropa dengan memasang kawat disekeliling pagar. Aksi penangkapam masal diikuti dengan introgasi dan penyiksaan yang dilakukan oleh oleh prajurit Prancis. Pemerintah Prancis mengintensifkan operasi militer untuk memastikan agar pemberontakan di aljazair dapat diberhentikan. Wilayah aljazair  dibagi kedalam sejumlah sektor yang masing-masingnya diawasi oleh pasukan yang ditempatkan secara permanen

Pada mei 1958 sejumlah tentara Prancis nekat menduduki gedung gubernur jendral di ibukota Aljir dan meminta agar Charles De Gaulle naik menjadi presiden. Setelah naik menjadi pempimpin prancis yang baru akhirnya De Gaulle melakukan kunjungan ke Aljir pada 4-7 juni dan disambut baik oleh warga penduduk asli Aljazair maupun penduduk keturunan Eropa. 

De Gaulle pada awalnya ingin wilayah Aljazair menjadi wilayah bagian dari Prancis tetapi melihat pemberontakan yang terjadi di Aljazair mulai menarik perhatian PBB dan dunia internasional sehingga pada bulan September 1959 Prancis siap memberikan kebebasan terhadap warga Aljazair untuk menentukan nasibnya sendiri. Pernyataan tersebut lantas membuat golongan Pied-noir merasa terancam. Sehingga pada Januari 1960 mereka membuat aksi protes di ibu kota Aljazair dan menyebabkan 20 orang tewas. Sesudah pemerintah Prancis mengirimkan militernya ke daerah Aljazair, mereka memutuskan untuk menyerah pada 1 Februari 1960. Akhirnya pemerintah Prancis mulai melakukan musyawarah dengan perwakilan FLN

Golongan Pied-noir mendirikan kelompok pemberontakan yang baru yakni Organisation Armee Secrete(OAS) yang bertujuan untuk memastikan bahwa wilayah Aljazair merupakan bagian wilayah dari Prancis. Pada 21 april 1961 beberapa orang anggota OAS merangkap bergabung dengan tentara Prancis dan melakukan kudeta di Aljir dengan cara menduduki bandara dan gedung-gedung penting lainnya. Pada maret 1962 perwakilan Prancis dan FLN melakukan sebuah perundingan di Prancis timur dan menghasilkan sebuah “Perjanjian Evian” yang isinya Prancis memberikan opsi kemerdekaan untuk Aljazair. 

Kesepakatan itu disahkan pada bulan Juni oleh parlemen Prancis. Masih pada bulan yang sama golongan minoritas yang menduduki wilayah Aljazair melakukan migrasi. Sebanyak kurang lebih 1 juta penduduk yang terdiri dari golongan piednoir, kaum yahudi dan kaum muslim Aljazair yang pro-prancis beramai-ramai pergi meninggalkan wilayah Aljazair. Akhirnya Aljazair benar-benar merdeka pada tanggal 1 juli 1962 setelah hampir seluruh masyarakat menyatakan dukungan penuh terhadap perjanjian evian via referendum. Selang dua hari De Gaulle menerima hasil referendum dan mengumumkan kemerdekaan Aljazair secara resmi. 

Kekuasaan Prancis di Tunisia

Sebelum menjadi republic Tunisia merupakan bagaian dari kerajaan Ottoman (Anggrowati,2014). Tunisia mengalami kebangkrutan pada masa pemerintahan Dinasti Bey pada tahun 1868. Peracis, Britinia, dan Italia kemudian menawarkan bantuan finansial kepada pemerintahan Bey melali Komisi Keuangan Internasional. Pada tahun 1878 Inggris menyetujui campur tangan Perancis kepada Tunisia dalam Kongres di Berlin. Perancis mulai memasuki Tunisia pada 6 April 1881 dan memutuskan untuk menanamkan pengaruhnya. Perancis dan pemerintah Tunisia melakukan pertemuan tanpa ada perlawanan dari rakyat Tunisia. Pertemuan antara Pemerintah Tunisa dan Perancis menghasilkan Perjanjian Bardo pada 12 Mei 1881.  Perancis mengambilalih administrasi negara, keuangan, militer, dan mengembangkan koloni walaupun pemerintah Dinasti Bey di Tunsia masih berjalan

Tunisia dikuasai oleh Perancis selama 75 tahun yakni dari tahun 1881 hingga tahun 1956, sehingga rakyat Tunisia  mulai menginginkan kebebasan. Syeikh al-Tha’libi, seorang pemimpin kaum muda Tunisiamendirikan partai Destour  tahun 1920. Partai Destour mempunyai tujuan untuk membebaskan Tunisia dari Kolonialisasi Perancis. Partai Destour dinilai radikal oleh Perancis karena secara terang-terangan menentang Perancis. Hal ini mengakibatkan Syeikh al- Tha’libi diasingkan tahun 1923 hingga 1925 sehingga partai Destour bubar

Kemerdekaan Tunisia

Proses kemerdekaan Tunisia terjadi dari tahun 1952 hingga 1956 antara Prancis dan gerakan separatis yang dipimpin oleh Habib Bourguiba. Bourguiba menjadi Perdana Menteri pertama Kerajaan Tunisia setelah negosiasi dengan Perancis berhasil mengakhiri protektorat kolonial yang mengarah ke kemerdekaan. Namun, setelah Perancis terlibat secara aktif dalam kancah peperangan dunia, baik perang dunia pertama ataupun kedua, kekuatan genggaman Perancis terhadap Tunisia mulai melemah. Perancis hanya memanfaatkan masyarakat Tunisia untuk dimajukan sebagai prajurit dan tentara tambahan dalam perang tanpa memerhatikan gerakan kemerdekaan yang mulai terbangun sejak perang dunia pertama

Sejak tahun 1906, telah terjadi pergerakan para pemuda Tunisia yang mulai berani menyuarakan pendapat mereka kepada pihak Perancis untuk melakukan beberapa perbaikan di Tunisia seputar perekonomian dan lain-lain. Sejak saat itu pula, muncul banyak tuntutantuntutan baru dari berbagai kalangan pemuda kepada pihak Perancis dan pada saat-saat itu pula muncul beberapa partai di Tunisia, salah satunya adalah partai konstitusi. Namun, seluruh tuntutan tersebut bukanlah tuntutan untuk melepaskan diri dari jajahan Perancis. Hingga pada tanggal 23 Agustus tahun 1946, para nasionalis mengadakan pertemuan (muktamar) dan sepakat untuk meminta kemerdekaan total kepada pemerintahan Perancis. Akan tetapi, sebelum acara tersebut selesai, mereka dibubarkan oleh para polisi dan 46 orang nasionalis ditangkap. 

Keberanian para nasionalis untuk meminta kemerdekaan pada pihak Perancis, disulut oleh banyaknya negara jajahan yang mulai memerdekakan diri sejak perang Dunia kedua. Disamping itu, para nasionalis Tunisia juga merasa posisi mereka kuat dan mampu untuk melepaskan diri dari Perancis mengingat kekalahan Perancis pada perang dunia. Pada tahun 1949, Habib Bourguiba kembali ke Tunisia dari Timur Tengah. Dia adalah mantan pemimpin partai konstitusi yang pernah memperjuangkan hak-hak masyarakat Tunisia. Kali ini, kedatangan Bourguiba untuk memperjuangkan kemerdekaan Tunisia secara penuh agar terbebas dari Perancis.

Gerakan yang dilakukan oleh Bourguiba dan partainya terbagi menjadi dua tahap. Pertama, adalah tahap perjuangan kemerdekaan dalam negeri. Yakni, memperjuangkan dan mengajak para masyarakat untuk bersiap-siap melepaskan diri dari Perancis. Perjuangan tahap awal ini adalah dengan berkomunikasi dan meminta kepada pihak Perancis untuk melepaskan Tunisia. Pada akhir Oktober 1951, dimulailah perundingan antara pihak Perancis dengan Tunisia di Paris untuk memberikan kedaulatan yang independen terhadap negara Tunisia. Tuntutan ini dijawab oleh menteri luar negeri Perancis dengan menyatakan bahwa hubungan antara Perancis dengan Tunisia merupakan hubungan “kedaulatan ganda” dalam catatan pidatonya yang bertanggal 15 Desember 1951

Pernyataan tersebut dirafsiri oleh Bourguiba bahwa Perancis masih memengang kendali terhadap Tunisia karena Perancis masih memiliki kedaulatan terhadap Tunisia. Jadi, menurut Bouguiba, kedaulatan ganda merupakan kata lain dari protektorat yang selama ini terjadi. Protes Bourguiba ini, menyulut kemarahan pihak Perancis yang kemudian melarang pergerakan partai konstitusi dan berniat menangkap Bourguiba untuk diasingkan. Kabar penangkapan Bourguiba menyulut kemarahan masyarakat. Terjadilah demo di ibu kota dan di seluruh negara pada tanggal 18 Januari 1952 dan berujung pada bentrokan antara masyarakat dengan kepolisian. Kejadian ini menyababkan bebarapa nyawa melayang dan sebagian lukaluka. 

Dengan adanya kesepakatan tersebut, gerakan demonstrasi terus berlajut. Bentuknya pun terus berkembang, awalnya hanya berupa demonstrasi dengan turun ke jalan dan bentrok dengan para polisi, kemudian berubah menjadi pengrusakan dan pembunuhan hingga akhirnya menjadi aksi teror. Aksi teror ini terjadi dengan diculiknya dan terbunuhnya beberapa pimpinan dan para militan kemerdekaan. Hari bersejarah ini terjadi pada tanggal 5 Desember 1953. 

Dengan adanya beberapa kekacauan yang terus berlanjut dan desakan dari para politikus Tunisia, akhirnya pihak Perancis memberikan kedaulatan independen pada tanggal 3 Juni 1955. Pada bulan ini pula, Bourguiba kembali ke Tunisia setelah sempat diasingkan selama +2 tahun. Dengan kembalinya Bourguiba, banyak para politikus dan pembesar partai konstitusi yang juga kembali ke Tunisia untuk kembali menata negara mereka yang baru saja mendapatkan kedaulatan independen. Karena kondisi ini, Januari 1956, ketua partai kembali mempertanyakan dan mempertegas maksud Perancis yang memberikan kedaulatan independen kepada Tunisia. Akhirnya Perancis memperbaharui kesepakatan tersebut dengan mengundang dua kubu partai ke Paris pada bulan Pebruari 1956. Akhirnya, pada tanggal 20 Maret di tahun yang sama, Perancis menyatakan bahwa perjanjian Bardo tahun 1881 dibatalkan dan memberikan kemerdekaan kepada Tunisia

Bourguiba ke berbagai penjara Prancis, di Prancis tempat ia menghabiskan 20 tahun berikutnya dalam hidupnya. Perang Dunia II menghentikan upaya Tunisia untuk merdeka, tetapi membantu memenangkan Bourguiba transfer dari penjara Prancis ke penjara Axis di Roma. Nazi berusaha menekan Bourguiba untuk membantu kekuatan-kekuatan Axis dengan pengaruhnya terhadap para pejuang kemerdekaan Tunisia dalam mendorong kembali invasi Sekutu ke Afrika Utara. Dia menolak - terutama karena keyakinannya bahwa Jerman akan kalah perang dan dibebaskan dari penjara pada tahun 1943 ketika kampanye Nazi akhirnya dikalahkan di El Alamein di Mesir. Sekembalinya ke Tunisia, Bourguiba mengusulkan konsep kemerdekaan bertahap untuk Tunisia yang didukung oleh sebagian besar warga Tunisia. Sebagai cara memaksa Perancis untuk pergi, Neo Destour kembali ke perlawanan bersenjata dengan melakukan serangan terhadap fasilitas kolonial yang dipelopori oleh militan seperti Chedly Kallala. Akibatnya, dari tahun 1952 hingga 1954, Bourguiba dipenjara karena serangan-serangan itu, yang selanjutnya memicu kebakaran antara Kemerdekaan Tunisia dan Aturan Prancis. Pada Juni 1954, Perdana Menteri Perancis yang baru Pierre Mendès France berkuasa dan segera melembagakan kebijakan penarikan dari Tunisia untuk mengurangi serangan kekerasan yang terjadi di koloni-koloni.

Prancis masih memegang kendali atas urusan luar negeri Tunisia, dan lambat laun negara-negara itu kembali ke pengaturan yang sama tahun 1881. Pada November 1955, Prancis memberi Maroko kemerdekaan, yang membantu membuka jalan bagi kemerdekaan Tunisia. Pada tanggal 20 Maret 1956 Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia dan mengembalikan pemerintahannya kepada Tunisia. Tunisia menjadi negara Republik pada tanggal 25 Juli 1957. Undang-Undang Dasar Tunisia pun akhirnya terbentuk dan secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Juni 1959. Hingga kini Prancis, Tunisia, dan Kekuatan Barat tetap berada dalam hubungan yang baik, dan mempertahankan hubungan ekonomi dan budaya yang signifikan





Komentar